Diskusi dengan Dr. Agus Sjahrurachman

 

KEPADA
Yth : dr.Taufiq M . Waly, DSPD
Jl. Rambutan Barat No. 4
Tanjung Duren Utara, Grogol
Jakarta Barat

Melalui surat ini saya sampaikan banyak terima kasih atas kiriman skripsinya. Saya pribadi merasa bahwa ide/hipotesa ini sangat inovatif dan perlu terus ditelusuri kebenarannya. Namun, dari data yang yang tertera daldam skripsi. Dengan sangat menyesal saya sampaikan bahwa saya merasa belum dapat diyakinkan. Alasannya adalah :

1. Dari sudut pandang imunologi, terjadinya antibodi terhadap antigen akan menimbulkan memori yang terus meningkat sejalan dengan prevalensi eksposure. Dari dugaan ini dapat dihipotesakan bahwa makin sering seseorang terinfeksi dengue, makin parah gejala kliniknya. Kenyataan sekarang sangat sukar bahkan belum pernah dilaporkan adanya pasien yang menderita DBD lebih dari dua kali (mohon diliha dengan teori penyakit Autoimun lain).

2. Dari berbagai kepustakaan telah dibuktikan bahwa virus dengue mampu menyebabkan agregasi trombosit karena virus dengue mampu menjadi ”bridge” antar trombosit. Ikatan ini cukup kuat. Karena dalam darah penderita juga terdapat antibodi dan kebanyakan virus dengue berada dalam bentuk immune complex, maka immunoglobulin yang anda deteksi pada sediaan trombosit penderita kemungkinan lainnya adalah antibodi antidengue yang melekat pada ”bridge” tersebut. Qua teknik penelitian, saya belum melihat adanya upaya anada yang ”scientifically adopted” untuk menyingkirkan kemungkinan itu.(pada trombosit dari orang sehat, karena memang tidak ada ”bridging” oleh immune komplek anda akan mendapatkan hasil negatif pada imunoflorosensi.) Secara teoritis, adanya anti trombosit akan menyebabkan ” Complement – mediated Iysis of such thrombocytes”. Oleh karena itu saya sarankan anda melakukan penelitian lebih lanjut dengan juga menganalisa “Iysed thrombocytes” tersebut dan mungkin juga perlu dilakukan reaksi antara serum penderita (setelah melalui unltasentrifugasi untuk menghilangkan kompleks imun yang mampu menjadi “bridge”) dengan trombosit orang normal/ non DBD (seingat saya, trombosit manusia kompatibel satu sama lain).
Sekian komentar saya dan sekali lagi terima kasih.

Jakarta, 01 – 09 – 1998
Agus Sjahrrurachman
Mikrobiologi FKUI

Jawaban

 

 

Kepada
Yth. Dr. Agus SJahrurachman
Mikrobiologi FKUI

Saya sangat gembira atas tanggapan TS. TS sdalah yang pertama kali memberikan tanggapan. Saya telah mengirimkan penelitian tersebut pada pusat-pusapt penyakit tropik infeksi pada sepuluh universitas negeri di seluruh Indonesin Dengan harapan dilakukan penelitian lanjutan sehingga didapatkan hasil yang lebih objektif.

Pertanyaan TS yang petama adalah kalau memang reaksi HPS tipe III sebagai dasar patofisiologi DBD, harusnya akan terjadi gejala klinik yang lebih berat apabila orang tersebut berulang – ualng terpapar virus dengue. Padahal dalam kenyataannya sukar ditemukan adanya pasien yang menderita DBD lebih dari dua kali.

Jawab :

Reaksi HPS tipe III adalah reaksi yang berlebihan dari tubuh (bedakan dengan reaksi autoimun), sehingga komplek antigen antibodi yang harusnya semua dapat dihancurkan oleh sel fagosit tubuh, ternyata tidak dapat dihancurkan bahkan terjadi penyebaran dan pengendapan komplek imun dibanyak jaringan tubuh. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya gangguan fungsi di sel fagosit. Dan setelah sel fagosit kembali pada fungsinya semula/terbentuknya sel fagosit baru, barulah terjadi penghancuran komplek – komplek imun tersebut sehingga terjadi kerusakan jaringan – jaringan tubuh. Reaksi HPS ini sering diikuti oleh reaksi autoimun atau reaksi tubuh untuk menghancurkan jaringannya sendiri walaupun tidak ada lagi komplek antigen antibodi dijaringan tersebut (terjadi gangguan mekanisme homoestasts imonologis).

Jadi dari uraian tersebut untuk dapat terjadinya gejala klinik yang berat diperlukan jumlah antigen yang banyak, jumlah (termasuk juga kecepatan) antibodi dan banyaknya sel fagosit yang mengalami disfungsi.

Antigen sendiri tidak semuanya langsung berikatan dengan antibodi (reaksi imunitas spesifik0. Oleh karena sebagian telah dihancurkan oleh sel –sel NK (reaksi imunitas non spesifik). Sedangkan sel – sel virus yang langsung masuk ke sel targetnya dihancurkan oleh sel K dengan mekanisme ADCC den sel Tc. Berarti kesimpulannya adalah hanya sebagian virus saja yang berikatan dengan antibodi. Walaupun demikian tetap diakui bahwa orang yang terpapar virus dengueberulang – ulang akan menyebabkan virus dengue yang diikat oleh antibodi lebih banyak. Tetapi ini juga berarti bahwa disfungsi sel fagosit lebih sedikit pada orang – orang yang sering terpapar virus dengue dibandingkan orang – orang yang jarang terpapar virus dengue. Oelh karena hanyasedikit sel virus dengue yang berhasil masuk ke sel makrofag yang merupakan sel targetnya, menyebabkan sel makrofag tersebut dapat menghancurkan komplek antigen antibiodi sebelum komplek imun tersebut menyebar dan mengendap di jaringan – jaringan tubuh (termasuk ke trombosit).

Disamping itu terbentuknya reaksi autoimun (seperti antibodi trombosit) memegang peranan pula untuk berat / ringannya gejala klinik yang terjadi. Bahkan oada penelitian tersebut saya menyatakan bahwa antibodi trombositlah sebagai penyebab utama trombositopenia. Pada orang yang berulang kali terpapar virus dengue dan pernah sakit (DBD), Selain sudah terjadi peningkatna kecepatan pembentukan antibodi, juga terjadi peningkatan sistem imunoregulator tubuh, sehingga kekacauan sel – sel limposit autoreaktif (sebagai dasar reaksi autoimun) dapat ditekan. Hal ini oleh karena selain bertambahnya kekuatan sel Tsupresser untuk menekan sel limposit autoreaktif, juga oleh karena hanya terjadin rangsangan yang kecil kepada limposit autoreaktif untuk membuat antibodi trombosit. Ini disebabkan karena komplek imun yang menempel pada trombosit tidaklah banyak, akibat telah banyaknya kehancuran komplek imun sebelum menempel pada trombosit (seperti keterangan di atas).

Demikianlah jawaban saya, kenapa pada orang yang sering terpapar virus dengue sukar untuk memberikan gejala klinik yang berat atau sukar ditemukan seseorang dirawat dirumah sakit oleh karena DBD untuk ketiga kalinya. Walaupun demikian berdasarkan alasan alasan yang telah saya kemukakan maka orang orang yang sangat sensitif tetap akan menderita DBD tetapi dengan gejala klinik yang ringan sepertin pusing, mual, meriang, dan sebagainya, tetapi tanpa trombositopenia(Silent Dengue Infection). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan WHO, sebenarnmya gejala klinik terbanyak daari DBD adalah silent dengue infection (fenomena gunung es). Dan orang – orang tersebut sulit untuk dideteksi.

Untuk pertanyaan yang kedua,saya telah menanyakan kepada dr. Melina/dr.Eka dari Multilab (yang memeriksa antibodi trombosit) bahwa komplek virus dengan antibodinya yang menempel pada trombosit, tidak memberikan cahaya fluoresen. Pemeriksaan antibodi trombosit seperti itu adalah pemeriksaan standart berdasarkan kepustakaan yang ada untuk mendeteksi antibodi trombosit. Hal ini diperkuat juga dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa pada seluruh pasien DBD dengan trombositopenia dalam fase akut (< 5 hari) sebagian besar trombositnya tertempeli komplek imun. Sehingga kalau memang komplek imun memberikan cahaya fluoresen harusnya seluruh pasien dengan demam < 5 hari akan memberikan fluoresonsi yang positif.

Pasien dengan antibodi trombosit positif tidaklah harus menjadi nol trombositnya (seperti pada pasien – pasien ITP). Hal itu sangat bergantung pada lamanya antibodi trombosit itu positif (mekanisme imunoregulator tubuh), kemampuan sumsum tulang untuk mensuplai trombosit, aktivasi komplemen dan makrofag untuk menghancurkan trombosit dan ada tidaknya faktor – faktor yang menyebabkan trombosit terpakai (DIC, perdarahan dan sebagainya).

Pada DBD yang terpenting adalah sistem Inunoregulator tubuh untuk menetralkan limposit ayutoreaktif yang menyebabkan antibodi trombosit positif. Harusnya pada penelitian tersebut antibodi trombosit diperiksa setiap enam jam atau 12 jam atau minimal tiap hari atau setiap penurunan tajam. Walaupun demikian efek antibodi trombosit ini terutama dapat dilihat pada pasien – pasien yang mengalami penurunan tajam. Ternyata seluruhnya didapatkan antibodi trombosit yang positif. Bahkan pada satu pasien. Trombosit turun tajam dari 107.000 menjadi 7.000 dan pada sore harinya naik menjadi 209.000. Padahal pasien tersebut sumsum tulangnya normal. SST normal pada keadaan trombositopenia berat dapat membuat trombosit 240.000/hari (meningkat delapan kali lipat / halaman 54 penelitian saya). Saya pun pernah merawat pasien DBD yang terbukti secara klinis dan IH test, tetapi pada saat trombositnya normal dan akan dipulangkan secara tiba – tiba trombositnya turun tajam dan terus turun walaupun telah diberikan steroid dan kemudian kemoterapi (sandimun). Pada Akhirnya pasien tersebut mengalami kematian. Berdasar hal tersebut saya beramsumsi bahwa adanya antibodi trombosit inilah yang menyebabkan transfusi trombosit pada pasien – pasien DBD, adalah percuma (seperti yang dibuktikan oleh Isarangkura dan Tuchinda). Mengenai usul sejawat untuk mencoba melakukan reaksi dengan trombosit yang normal, pada prakteknya sulit dilakukan. Oleh karena sifat trombosit yang sangat cepat rusak.

Pada akhirnya sekali lagi saya ucapakn terima kasih atas tanggapan TS, dan saya pun tetap berharap semoga diskusi ini dapat terus berlanjut.

Wassalam

Jakarta, 05 September 1998
Dr. TAUFIQ M. WALY, Sp. P.D