VAKSINASI DBD

UNTUNG ATAU RUGI ???

T. Mudwal

Sehat atau sakitnya individu seperti yang kita ketahui adalah interaksi antara sistem kekebalan manusia dengan lingkungan dan agen (kuman/virus/antigen). Supaya manusia tetap sehat maka kekebalan atau sistem imunitas harus baik, lingkungannya harus mendukung sistem imunitas itu supaya tetap baik dan antigen serta seluruh faktor yang mendukung antigen tersebut harus ditiadakan.

Apabila lingkungan dan agen sulit sekali dikoreksi, maka peningkatan sistem kekebalan harus dilakukan supaya tidak terjadi sakit. Imunisasi atau vaksinasi adalah contoh dari hal tersebut.

Tetapi selain dari teori klasik tentang terjadinya sakit pada manusia seperti yang diterangkan di atas, manusia dapat pula menjadi sakit, apabila sistem kekebalannya terlalu reaktif (hipersensitif). Dimana pada keadaan seperti itu sistem imun memberikan reaksi yang berlebihan terhadap agen atau mikroorganisme tertentu. Jadi bukan kurangnya sistem imun yang menyebabkan seseorang menjadi sakit, melainkan kesalahan dalam merespon agen yang masuk dalam tubuh itulah, sebagai dasar dari terjadinya sakit.

Dengan keterangan diatas, jelas bahwa sebelum memberikan tambahan kekuatan pada sistem imunitas kita, harus jelas dulu atau disepakati dulu atau dicari dulu teori yang paling kuat yang dapat menerangkan kenapa seseorang menjadi sakit (patogenesis  dan patofisiologi).

Untuk DBD, pada prinsipnya ada 3 teori yang menerangkan kenapa seseorang terkena DBD :

1. Teori keganasan virus

Virus Dengue yang berkolaborasi dengan ekosistem yang buruk, akan menyebabkan virus Dengue itu bertambah kuat, bertambah banyak, dan menyebar ke seluruh wilayah negara tersebut untuk kemudian mengalahkan sistem imunitas seseorang. Kemiskinan penduduk, pendidikan yang rendah, akan menambah cepat daerah atau negara tersebut untuk mendapat cap sebagai negara atau daerah hiperendemis Dengue. Untuk cepat mengurangi banyaknya penderita DBD, maka antibodi seseorang harus cepat ditingkatkan dan antibodi tersebut diharapkan dapat bertahan lama. Sulit sekali melakukan koreksi terhadap lingkungan dan mengalahkan virus Dengue. Imunisasi atau vaksinasi, itulah solusi yang paling tepat dan cepat.

Pemberian cairan dan observasi ketat merupakan terapi utama pada pasien yang terkena DBD berdasarkan teori ini.

2. Teori keganasan virus yang dikombinasi dengan kesalahan respon sistem imun pada saat virus Dengue masuk kedalam tubuh (Teori Halstead).

Tubuh berhasil mengatasi infeksi Dengue yang dianggap terganas sekalipun, asalkan tidak terbentuk antibodi non neutralizing. Antibodi non neutralizing, baru terbentuk bila tubuh terinfeksi virus Dengue dari serotipe yang berbeda (Secondary Heterologous Infection Theory). Jadi secara tidak langsung pada teori ini tidak ada istilah virus Dengue yang ganas atau tidak ganas. Semua virus Dengue adalah ganas apabila dia berhasil masuk dalam sel targetnya, bereplikasi dan bertambah kekuatannya di sel target tersebut untuk kemudian masuk lagi kedalam darah. Antibodi non neutralizing, memacu masuknya virus kedalam sel target tersebut.

Jadi berdasar teori ini, apa bila seseorang terinfeksi satu macam virus saja, baik 1 kali atau terus menerus, orang tersebut tidak akan pernah sakit DBD (terjadi kekebalan seumur hidup terhadap virus itu saja/terbentuk antibodi neutralizing seumur hidup terhadap virus itu saja). Walaupun demikian, kekebalan terhadap 1 virus itu juga sekaligus menjadi pemicu terbentuknya antibodi non neutralizing bila tubuh kemasukan virus Dengue dari tipe yang lain. Sehingga untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian DBD cara yang tercepat adalah memberikan vaksinasi langsung keempat serotipe virus Dengue (karena virus Dengue ada empat serotipe) dengan harapan adalah peningkatan langsung antibodi neutralizing terhadap keempat serotipe virus Dengue tersebut. Atau mencegah terjadinya antibodi non neutralizing apabila terjadi infeksi virus Dengue satu demi satu. Teori inilah yang sekarang banyak dipakai di seluruh dunia.

Terapi utama pada seorang yang terkena DBD berdasarkan teori ini adalah sama dengan teori keganasan virus yaitu pemberian cairan dan observasi ketat.

3. Kesalahan respon imunitas individulah sebagai dasar utama terjadinya sakit DBD (Teori Hipersensitifitas tipe III T. Mudwal / www.dhf-revolutionafankelijkheid.net)

T. Mudwal menyatakan teori ini berdasarkan :

a. Tidak semua orang atau ras  akan terkena DBD.

DBD terutama mengenai Asia Tenggara dan Pasifik Barat (betapa pun saat ini, DBD telah menyerang hampir 100 negara di dunia dan macam-macam ras). Pengamatan selama 15 tahun terhadap pasien-pasien DBD, menunjukan etnis Arab, Cina, kulit putih, sangat jarang terkena DBD, bahkan pada saat KLB  sekalipun. Pengalaman pada saat sekolah di RSCM, bekerja di Caltec Pasifik Riau dan bekerja pada saat ini, merupakan dasar untuk menyatakan itu selain kenyataan yang ada di atas dunia ini seperti yang dituliskan di jurnal-jurnal.

b. Imunitas buruk, gejala klinis justru ringan

 

      Apabila kita memakai patokan bahwa DBD berat, adalah seseorang dengan riwayat panas ≤7 hari, adanya syok, sesak napas, hepatosplenomegali, perdarahan hebat/DIC dan trombosit ≤20.000/mm

3

      , maka hal-hal tersebut banyak terjadi pada orang dengan gizi baik yang secara perhitungan kasar, mempunyai sistem imunitas baik ketimbang seseorang dengan gizi buruk atau orang dengan usia > 60 tahun, dimana secara perhitungan kasar sistem imunitasnya buruk. Sulit sekali seorang pasien HIV yang jelas-jelas mempunyai imunitas yang buruk untuk terkena penyakit DBD. Penyakit DBD hanya bisa mengenai passien HIV bila CD

4

       masih diatas 200 cel/mm

3

      . Atau sistem imunitasnya masih lumayan baik.

 

c. Kesalahan respon dari sistem imunitas kita.

Sama seperti Halstead, antibodi yang terbentuk tidak mampu membentuk antibodi neutralizing (terbentuk antibodi non neutralizing) . Tapi T. Mudwal tidak mengatakan itu sebagai antibodi non neutralizing. T. Mudwal mengatakan itu adalah Ig G/ IgM imperfect (karena secara imunologis, imunoglobulin kita adalah IgA, IgE, IgD, IgM, IgG). Terbentuknya Ig G / IgM imperfect oleh karena sensitifnya tubuh terhadap antigen Dengue, sehingga sel plasma yang belum cukup umur untuk membuat antibodi, ikut-ikutan membuat antibodi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel limposit  plasma biru (LPB) pada pasien DBD. Hanya DBD lah yang dapat menyebabkan terlihatnya sel-sel LPB dalam waktu akut (< 7 hari masa sakit). Bahkan ada penelitian yang mengatakan, LPB ini terdapat pada 98 % pasien DBD. Pada orang sehat LPB tidak terlihat sama sekali (nol %). Akibat Ig G/ IgM yang tidak terbentuk sempurna, virus berhasil melepaskan diri dari ikatan Ig G/IgM tersebut dan masuk pada sel targetnya. Jadi pada Ig G/IgM imperfect tidak terjadi pemacuan terhadap virus untuk masuk pada sel targetnya, seperti yang dikemukakan Halstead. Ikatan antigen dan antibodi  tetap terjadi, tetapi ikatannya lemah.

Karena sel target dari virus Dengue adalah sel tentara kita (monosit, makrofag dan sel kupfer) maka kompleks imun yang terbentuk, baik antara Ig G/IgM perfect dengan antigen dan sebagian kecil Ig G/IgM imperfect dengan antigen gagal dihancurkan oleh sel tentara kita sehingga menyebar keseluruh tubuh (dinding kapiler, trombosit, susmsum tulang, hati, limpa, otak, jantung, mata, dan sebagainya). Kembalinya sel tentara kita pada fungsi yang normal atau datangnya sel-sel tentara dari markasnya di sumsum tulang yang normal menyebabkan kehancuran dari kompleks-kompleks imun tersebut. Derajat beratnya DBD tergantung dari lokasi dan banyaknya kompleks imun yang hancur. Dengan alasan itulah T. Mudwal mengatakan dasar dari patogenesis  dan patofisiologi DBD adalah reaksi Hipersensitifitas kompleks imun (reaksi Hipersensitifitas tipe III).

Adanya kompleks-kompleks imun yang banyak ini dapat memicu kekacauan dalam sistem pengaturan kekebalan tubuh kita. Sehingga dapat terjadi sel-sel tubuh yang seharusnya tidak dihancurkan, menjadi ikut dihancurkan. Adanya reaksi autoimun terhadap trombosit (antibodi trombosit yang positif) merupakan contoh dari hal tersebut. Bahkan bisa terjadi kekacauan berjalan seumur hidup, sehingga orang tersebut menjadi ITP (trombositnya rendah seumur hidup). Pasien-pasien dengan SLE pun harus dipertimbangkan kemungkinannya karena dipicu oleh DBD. Kesembuhan pada organ-organ yang rusak pun mungkin bisa terjadi tidak sempurna. Adanya anemia aplastik, stroke, gangguan penglihatan akibat retina yang rusak dan sebagainya mungkin saja terjadi.

Hal lain yang membuktikan bahwa hipersensitivitaslah sebagai penyebab terjadinya penyakit DBD adalah berhasilnya pemberian obat untuk menekan hipersensitivitas itu (kortikosteroid dosis immunosupressif) seperti yang dilakukan Waly et al (FK UI 1997), Hendarsih et al (FK UNPAD 2004), dan Futrakul et al (Thailand 1987).

Berdasar keterangan di atas reaksi DBD hebat baru akan terjadi bila antigen yang masuk jumlahnya banyak, antibodi imperfect yang terbentuk banyak, makrofag yang invalid akibat terinfeksi Dengue banyak serta lokasi dan banyaknya kompleks imun yang dihancurkan. Infeksi virus dalam jumlah kecil dari satu macam virus saja biasanya tidak menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe III. Atau bisa juga memberikan reaksi tetapi biasanya ringan (demam, sakit kepala, pegal linu, gangguan penglihatan dsb). Walaupun demikian bisa juga memberikan reaksi yang berat bila seperti yang dikemukakan di atas, antigen yang masuk sangat banyak atau bersifat super antigen. Atau individu tersebut terlalu sensitif sehingga antibodi IgM imperfect yang terbentuk sangat banyak atau terjadi mutasi genetik baik dari virus itu maupun individunya. Perbedaan teori T. Mudwal dan Haslstead, bila Halstead mengatakan bahwa infeksi satu macam virus yang pertama kali akan mengakibatkan kekebalan seumur hidup maka T. Mudwal mengatakan tidak. Tidak ada kekebalan seumur hidup pada orang hipersensitif. Reaksi yang terjadi tergatung seperti apa yang telah diterangkan di atas. Hal ini lah sebagai dasar dari T. Mudwal untuk mengatakan kenapa infeksi primer dapat memberikan gejala klinis. Suatu hal yang sulit untuk dijawab Halstead. Sehingga keluar lagi teori antibodi dependent enhancement untuk menerangkan kenapa infeksi primer dapat menyebabkan gejala klinik. Dimana berdasarkan teori ini terjadinya sakit pada infeksi primer karena orang tersebut mendapatkan antibodi non neutralizing dari ibunya. Sehingga bila terjadi infeksi virus Dengue dari tipe yang berbeda seperti apa yang telah mengenai ibunya terjadilah penyakit DBD. Sedangkan menurut T. Mudwal anak 0 – 4 bulan memang akan mendapatkan antibodi dari ibunya sesuai dengan virus Dengue yang telah mengenai ibunya. Tetapi setelah itu karena genetiknya sendiri. Terbentuklah IgM yang sensitif. Setelah enam bulan terbentuklah IgG yang sensitif. Jadi antibodi terhadap virus Dengue yang diterima anak dari ibunya itu, hanya bertahan sekitar 6-9 bulan. Untuk kemudian sakitnya anak itu karena DBD disebabkan sensitifnya IgM dan IgG anak itu sendiri. Sensitifitas adalah diturunkan atau genetik.

Infeksi virus Dengue yang kedua kali dalam jumlah kecil dan virus yang sama, bisa tidak terjadi reaksi tapi tidak terjadi kekebalan seumur hidup. Meskipun demikian bila terjadi infeksi virus kedua kali dari virus tipe yang berbeda walaupun dalam jumlah kecil lebih berbahaya ketimbang infeksi virus yang sama dalam jumlah besar (sama seperti Teori Halstead). Hal ini karena virus yang berbeda akan memberikan rangsang yang lebih kuat untuk terjadinya kesalahan respon imun ketimbang virus yang sama. Tetapi bila terinfeksi lagi oleh virus yang ketiga atau keempat (virus Dengue yang lain) maka reaksi yang akan terjadi lebih ringan karena sebagian dari sifat-sifat virus tersebut telah dikenal oleh sistem imunitas kita (karena sama-sama virus Dengue).

Apabila teori ini diyakini benar maka percobaan vaksinasi pada binatang (monyet) tidak dapat dijadikan patokan pada manusia. Terjadinya sakit pada monyet atau kera, bukanlah karena hipersensitifitas tetapi memang karena adu kuat antar virulensi virus dengan antibodi monyet. Virus Dengue sebenarnya bukan virus yang menyerang manusia. Kalau sekarang virus Dengue banyak menyebabkan sakit pada manusia didunia ini oleh karena hipersensitifitas manusia tersebut atau mutasi genetik dari virus atau mutasi genetik dari manusia itu sendiri atau perpindahan manusia (transportasi, urbanisasi dsb).

Seperti dikatakan dari keterangan di atas bahwa tidak ada kekebalan seumur hidup pada teori Hipersensitifitas tipe III. Maka untuk menghindari seorang sakit DBD bukanlah vaksinasi sebagai solusi tetapi perbaikan environment dan perilaku hidup sehat adalah kunci untuk memberantas DBD betapapun itu sulit dilakukan. Kalaupun dilakukan vaksinasi maka tujuan vaksinasi bukanlah untuk meningkatkan antibody. Pemberian antigen Dengue dosis rendah yang diberikan secara berulang-ulang (boster) bertujuan untuk membuat orang tersebut tidak terlalu sensitif (desensitisasi). Dan berdasarkan teori HS tipe III maka vaksinasi dengan satu-satu virus dan dosis sangat rendah serta diboster berkali-kali (> 3 kali) lebih aman ketimbang vaksinasi tetravalen dari virus Dengue. Jelas cara seperti ini akan memakan waktu dan biaya. Bila tetap akan dilakukan vaksinasi tetravalen (sekaligus empat), maka tetap saja dosis harus sangat rendah. Bahkan lebih rendah dari vaksinasi monovalen. Konsekuensi dari hal seperti ini timbulnya desensitisasi terhadap empat serotipe virus tetap akan memakan tempo yang lama (entah kapan). Itu bila kita berpegang pada teori HS tipe III. Bahkan berdasarkan teori HS tipe III antibodi yang telah didapatkan dengan susah payah itupun akan menghilang jika boster tidak terus menerus dilakukan. Sehingga pada akhirnya yang tertinggal adalah antibodi yang diberikan oleh nyamuk Aedes Aegypti yang terus menerus menggigit kita sepanjang waktu (vaksinasi oleh nyamuk).

DISKUSI TERHADAP UJICOBA VAKSIN

Di Thailand sejak Februari 2009 sampai dengan Maret 2011 telah dilakukan 3 kali penyuntikan vaksin yang bersifat tetravalen. Mereka berharap supaya terjadi kekebalan terhadap empat serotipe virus Dengue. Di mana penyuntikan diberikan kepada 4000 anak-anak yang berumur 4 – 11 tahun. Mereka melakukan pemantauan secara ketat selama 28 hari setelah penyuntikan dan mengklaim tidak ada efek samping apa pun (World’s first Dengue vaccine shows promising results; By Pongphon Sarnsamak; the Nation; Published on June 11, 2011).

Dengan dasar itulah Indonesia dalam hal ini Menkes, bersedia untuk melanjutkan uji coba tahap ke tiga dari vaksin DBD buatan Sanovi Aventis itu di Indonesia. Indonesia akan mencobanya pada 2000 anak usia 2 – 14 tahun. Suntikan akan diberikan 3 kali yaitu bulan ke 0, 6 dan 12. Setelah itu seluruh sukarelawan anak-anak itu akan dipantau selama 5 tahun ke depan, apakah kebal terhadap DBD ataukah tidak. Kemudian akan dinilai juga bagaimana dengan antibodi neutralizing nya terhadap virus Dengue 1, 2, 3, 4 apakah masih ada ataukah sudah menghilang.

Saya sendiri, tidak setuju dengan ikutnya Indonesia dalam ujicoba vaksin DBD dari Sanovi Aventis ini. Sebenarnya apakah artinya tidak ada efek samping atau aman setelah penyuntikan vaksin itu? Jika 28 hari setelah penyuntikan trombosit anak yang sebelum disuntik berjumlah 200.000/mm3, kemudian turun menjadi 150.000/mm3 pada hari ke 28 setelah penyuntikan, apakah bukan dianggap efek samping yang berbahaya? Trombosit normal, memang berkisar anatar 150.000 – 350.000/ mm3. Kemampuan sumsum tulang maksimal sehari untuk membuat trombosit bisa mencapai 240.000/mm3. Bila seorang anak sehat yang trombositnya sebelum penyuntikan adalah 200.000/mm3 kemudian jatuh menjadi 150.000/mm3 pada hari ke 28 setelah penyuntikan ini menunjukan adanya sesuatu sebagai penyebabnya. Defek minimal pada sumsum tulang atau terjadinya pembesaran limpa minimal (yang tidak terdeteksi USG sekali pun) bisa mengakibatkan hal seperti itu. Dan pada anak seperti itu dipastikan tidak ada keluhan sama sekali, tetapi itu adalah efek samping yang berbahaya. Harusnya pada hari ke 28, trombosit anak itu kembali pada keadaan biasanya yaitu dikisaran 200.000/mm3. Demikian juaga adanya demam setelah vaksinasi. Demam yang terjadi (> 37,50C) harus dianggap bahwa anak itu menderita DBD sampai dengan dibuktikan bukan atau hanya suatu reaksi imunologis biasa akibat vaksinasi. Bila pada anak yang demam setelah penyuntikan tersebut didapatkan rumple leed atau tes torniquet yang positif, atau ditemukan turunya jumlah trombosit secara signifikan (> 50.000/mm3) atau ditemukan Ht/Hb > 3 kali atau ditemukan limposit  count < 20% atau monosit count < 3% atau ditemukan bentuk limposit  yang abnormal (Limposit  Plasma Biru) > 1% maka anak-anak itu harus dianggap menderita DBD dan harus diobservasi ketat. Karena DBD tidak dapat diprediksi.

Pada penelitian pemberian vaksin Dengue 2 terhadap 10 orang sukarelawan umur 18 – 30 tahun didapatkan seluruhnya terlihat gambaran abnormal dari limposit  (yang saya yakini adalah LPB) dan penurunan jumlah limposit  pada hari ke 6 atau bahkan hari ke 10 setelah penyuntikan (WHO’s efforts for the development of a Dengue vaccine; Sutee Yoksan#; Dengue Bulletin – Volume 32, 2008). Ini berarti bahwa sampai dengan 10 hari setelah penyuntikan vaksin seseorang masih bisa terkena DBD. Dilain jurnal didapatkan bahwa pemberian vaksin Dengue 2 terhadap 38 sukarelawan ternyata gejala demamnya mencapai jumlah 10% (Perkembangan Vaksin Dengue – 2; Dr. Emilliana Tjitra, MSc; Cermin Dunia Kedokteran No. 50,1988). Dimana ini bisa berarti bahwa setelah vaksinasi orang bisa terkena DBD seperti yang saya uraikan di atas.

Walaupun 4000 anak di Thailand dilaporkan baik-baik saja, selama 2 tahun program ujicoba vaksin itu, bukan berarti anak-anak Indonesia akan mempunyai respon yang sama terhadap vaksin itu. Suku – ras  sangat memegang peranan penting, 1 % atau 20 orang saja dari 2000 anak-anak menderita demam dan dapat diagnosa terkena DBD seperti kriteria yang saya terangkan diatas, maka vaksin itu tidak bisa dipakai. Karena vaksin itu akan diberikan kepada puluhan juta anak-anak Indonesia. Dengan uraian-uraian seperti diatas, seharusnya Indonesia tidak langsung menyetujui untuk ikut ujicoba fase ke 3 dari vaksin Sanovi Aventis itu. Biarlah kita melihat hasil vaksinasi itu dari Thailand.

Profesor Sri Rezeki, peneliti vaksin yang menjabat Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Indonesia, menyatakan bahwa ujicoba vaksin Sanovi Aventis itu pada tahap 1 dan 2 terbukti memberikan perlindungan pada anak-anak dan dewasa dari serangan Dengue (Tempo online; penantian 3 dekade; 06 juni 2011). Bila penyuntikan vaksin hanya memberikan kekebalan selama 18 bulan atau 2 tahun atau hanya pada saat menerima vaksin, maka itu adalah tindakan percuma. Thailand mulai memberi vaksinasi pada bulan Februari 2009 dan berakhir pada bulan Maret 2011. Mereka mengklaim bahwa antibodi terhadap empat serotipe virus Dengue terdapat pada semua anak yang divaksinasi tersebut. Dan mereka pada bulan Juni 2011 (3 bulan setelah akhir penyuntikkan) mengklaim bahwa telah mendapatkan hasil yang luar biasa. Bagi saya hal tersebut merupakan hal yang sama sekali tidak berarti karena baru 3 bulan setelah vaksinasi. Masih didapatkan pun antibodi terhadap empat serotipe dalam 1 tahun kedepan, tetaplah bukan sesuatu hal yang luar biasa (karena baru 1 tahun setelah vaksinasi). Sedangkan Thailand menganggap bila 1 tahun kedepan antibodi terhadap empat serotipe masih didapatkan, maka vaksinasi Dengue dianggap sukses dan sudah sepantasnya disebarkan ke seluruh dunia.

Keberhasilan tidak terkena infeksi Dengue atau masih positif nya antibodi neutralizing atau antibodi IgG perfect selama 3 atau 5 tahun setelah akhir vaksinasi, dan kemudian divaksinasi lagi, bukanlah suatu keberhasilan. Itu adalah pemborosan uang Negara.

Berdasarkan teori HS tipe III, desensitisasi yang dianggap vaksinnasi itu, hanya akan bertahan selama antigen virus Dengue itu terus diberikan secara kontinyu atau boster. Apabila suntikan atau boster itu distop, maka seorang akan kembali pada hipersensitifitas nya lagi. Sebab hipersensitifitas adalah genetik sesorang. Percobaan pada pemberian satu vaksin Dengue (Dengue 2) ternyata kekebalan yang didapatkan paling lama hanya bertahan 3 tahun saja setelah penyuntikan vaksin yang terakhir (Perkembangan Vaksin Dengue – 2; Dr. Emilliana Tjitra, MSc; Cermin Dunia Kedokteran No. 50,1988). Membentuk kekebalan terhadap empat serotipe lebih sulit dari pada membentuk kekebalan terhadap satu serotipe virus Dengue. Secara perhitungan diatas kertas, saya memprediksi kekebalan terhadap empat serotipe yang dibanggakan oleh ilmuwan Thailand tersebut akan berakhir 2 tahun setelah penyuntikan terakhir (Maret 2013). Bahkan sesuai dengan laporan mereka setelah akhir dari penyuntikan (Maret 2011), 73 (1,8%) dari 4000 sukarelawan anak-anak itu, masih ditemukan viremia pada darahnya. Berarti pada anak-anak tersebut 2 kali penyuntikan sebelumnya tidak memberikan apa-apa.

Dilihat dari sudut teori HS tipe III, kekebalan virus Dengue 1,2,3,4 dalam arti orang tersebut tidak menderita, panas, plasma leakage, trombositopenia dsb, hanya dapat terjadi bila virus Dengue yang disuntikkan itu (baik vaksinasi dari petugas kesehatan atau oleh nyamuk) berjumlah sedikit. Bila berjumlah banyak, atau terjadi mutasi genetik dari virus Dengue maka antibodi terhadap empat serotipe yang telah susah payah dicapai itu tidak berarti apa-apa, misalnya pada keadaan KLB DBD. Pada keadaan KLB seperti itu viremia dan invalid dari pada makrofag tetap saja terjadi, untuk selanjutnya terjadi penyebaran kompleks imun dan penghancuran dari kompleks-kompleks imun yang dapat berakibat fatal (dhf-revolutionafankelijkheid.net). Yang terutama harus diwaspadai adalah terjadinya serangan DBD tanpa harus didapatkan adanya panas. Stroke, MCI akut, Konjungtifitis, Artritis hebat, Sindrom Dispepsia hebat, Diare akut yang berat dan sebagainya, bisa saja terjadi karena infeksi Dengue tanpa didapatkan adanya panas. Pada keadaan seperti itu diagnosa infeksi Dengue sebagai penyebabnya, terabaikan(www.dhf-revolutionafankelijkheid.net).

 

PENUTUP

Semoga tulisan ini dapat memperjelas kita semua, bahwa vaksinasi DBD lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Dan semoga kita semua tidak meniru ilmuwan Thailand yang mengatakan bahwa vaksinasi merupakan solusi yang paling tepat dan cepat dalam mengatasi DBD di Thailand, tidak perduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan oleh negara (World’s first Dengue vaccine shows promising results; By Pongphon Sarnsamak; the Nation; Published on June 11, 2011).

Dan pada akhirnya semoga Allah Yang Maha Pintar dan Maha Gagah memberikan petunjuk dan keteguhan hati pada kita semua dalam mengambil keputusan yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

  1. WHO.  Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. A joint publication of the WHO and the special programme for research and training in tropical disease, 2009
  2. Mercola.  bone crushing Dengue fever much greater threat than swine flu. articles.mercola.com
  3. WHO. Dengue hemorrhagic fever : Diagnosis, treatment, prevention and control. Second addition, Geneva : WHO, 1997.
  4. Dussart P, et al: Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of Dengue virus NS1 antigen in human serum. Clinical and vaccine immunology, November 2006 ; 1185-1189.
  5. Shu P Y and Huang J H: Current advances in Dengue diagnosis. Clinical and diagnostic laboratory immunology July 2004 ; 642-650.
  6. V Kumarasamy, et al: Evaluating the sensitivity of a commercial Dengue NS1 antigen-capture ELISA for early diagnosis of acute Dengue virus infection. Singapore Med J 2007 ; 48(7) : 669-673.
  7. McGuire P. The devil disease : Dengue fever. The magazine of the John Hopkins Bloomberg school of public health. Spring 2010.
  8. Murray Anne NE, et al: Epidemiology of Dengue. Past, present and future prospect. In : Clinical epidemiology. 2013;5:299-309
  9. Deen J L. et al: The WHO Dengue classification and case definitions : Time for a reassessment. Lancet 2006 ; 368 :170-173.
  10. Southeast Asia Regional Office WHO. 2012. Hyperlink available at: www.searo.who.int/entity/Dengue/documents/Denguesituation2012/en/
  11. Disease surveillance report 2013 Phillipines Department of Health. 2012. Hyperlink available at: http://www.doh.gov.ph/sites/default/files/dengue35.pdf
  12. Othman A: Surge in Brunei Dengue fever case. In : Borneo Bulletin, Tuesday June 2nd 2015
  13. WHO. Dengue status in south east asia region : An epidemiological perspective. WHO, 2008. Dengue fever. Wikipedia.com the free encyclopedia
  14. Dinesh N, Patil V D. Persistent thrombocytopenia after Dengue hemorrhagic fever. Indian J pediatr, vol 43, November 17, 2006 : 1008-1009.
  15. Kohli U, et al: Persistent thrombocytopenia following Dengue shock syndrome. Indian J pediatr, vol 75, Januari, 2008 : 82-83.
  16. Waly T M, et al: The role of platelet antibody and bone marrow in adult Dengue hemorrhagic fever with thrombocytopenia. Med J Indones 1998 ; 7 : 242-8.
  17. Rahman A, et al: Presence of anti platelet GP IIB-IIIA investigation in Dengue infected patients sera. Hematologica 2008 : 93(s1) : 551 Abs. 1455.
  18. Rahman A: Identification of one of the thrombocytopenia mechanism in Dengue virus infection Presence of anti platelet GP IIB-IIIA investigation in Dengue infected patients sera (thesis). Indonesia University, Jakarta, 2009.
  19. Albuquerque P,  et al: Dengue and aplastic anemia: A rare association. Travel medicine and infectious disease vol 7, issue 2, 2009: 118-120.
  20. S B Halstead Dengue Hemorrhagic fever : Two infection and antibody dependent enhancement, a brief history and personal memoir. Rev Cubana Med Trop ,vol 54 n.3 Ciudad de la Habana sep.-dic. 2002
  21. Mc bride W J H, Bielefeldt-Ohmann H. Dengue Viral infections ; patogenesis and epidemiology. Microbes Infect 2000;2:1041-50
  22. Lei H Y, et al: Immunopatogenesis of Dengue virus infection. J Biomed Sci 2001;8:377-88.
  23. Rothman A L. Dengue : Defining protective versus pathology immunity. J Clin Investigation. 2004;113(7):946-50.
  24. Gubler D J. Dengue and Dengue hemorrhagic fever clinical microbiologi review, July 1998 : 480-496
  25. Guzman M G, et al : A continouing global threat. Nature Reviews Microbiology , S7-S16
  26. Bokish V A, et al: The potential pathogenic role of complement in Dengue hemorrhagic shock syndrome. N.Engl J Med 1973 ; 289 : 996-1000
  27. Noisakran S, Perng G C: Alternate hypothesis on the patogenesis of Dengue hemorrhagic fever (DHF)/Dengue hemorrhagic syndrome (DSS) in Dengue virus infection. Exp Biol Med. 208:233:401-8.
  28. Koraka P, et al:  Kinetic of Dengue Virus-Spesific Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbiol. 2001;39:4332-8.
  29. T. Mudwal. Hyperlink available at: www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
  30. Lastya A, et al: Case report Dengue manifestation in AIDS patient. Kumpulan abstrak kongres nasional PETRI Semarang, 8-10 Juli 2011.
  31. Ruangjirachuporn W, et al: Circulating immune complexes in serum from patients with Dengue hemorrhagic fever. Clin. Exp. Immunol. 1979;36:46-53.
  32. Gulati S, Maheswari A: A typical Manifestation of Dengue. Tropical Medicine and International Health. Vol.12, no 9, 2007:p.1087-1095.
  33. Teoh SCB, (the eye institue Dengue related ophtalmic complications workgroup) et al: Dengue Chorioretinitis and Dengue –Related Ophthalmic Complications. Dengue Bulletin 2006;30. p.184-190
  34. Roitt I: Essential Immunology. Ninth edition 1997.
  35. Baratawidjaja KG, Rengganis I: Basic Immunology. Eighth edition 2009.
  36. Baratawidjaja  KG: Basic Immunology. Third edition 1996.
  37. Sutaryo: Limfosit plasma biru. Disertasi. 1991.
  38. Hendarsih E: The role of methylprednisolone on platelet amount in DHF patient (thesis). PadjadjaranUniversity, Bandung, 2004.
  39. Futrakul P, et al. Hemodinamic response to high dose methylprednisolone and mannitol in severe Dengue-shock patients unresponsive to fluid replacement. South east Asian J Trop Med Pub Hlth 1987;18:373-9.
  40. R Panpanich, et al: Corticosteroids for Treating Dengue Shock Syndrome (review).Cochrane Collaboration 2010;issue2.
  41. Tassniyom S, et al: Failure of High-Dose Methylprednisolon in established Dengue shock syndrome: A placebo-controlled, double-blind study. Pediatrics 1993;92(1):111-5.
  42. Sumarmo: The role of steroid in Dengue shock syndrome. South East Asian J Trop Med Pub Hlth 1987;18:383-9.
  43. Myo Min, et al: Hydrocortisone in the management of Dengue shock syndrome. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1975;6:573-9.
  44. Dong T. H. Tam. Effect of Short Course Oral Corticosteroid Therapy in Early Dengue Infection in Vietnames PAtients: A. Randomized, Placebo-Controller Trial. Oxford University Press on behalf of the Infectious Diseases Society of America 2012.
  45. Zhang F, Kramer CV. Corticosteroid for dengue infection (Review). The Cochrane Collaboration 2014.
  46. Thi Hanh Tien Nguyen, et al. Corticosteroids for Dengue – Why Don’t They Work?. 2013.
  47. Boumpas DT, et al: Glucocorticoid therapy for immune-mediated diseases. Basic and clinical correlates. Ann Intern Med 1993;119:1198-1208.
  48. Sumarmo: DHF on Children. 2nd ed. 1988.