Mungkinkah Infeksi Virus Dengue Dapat Memprovokasi Terjadinya Hepatitis Autoimun Fulminant dan Sistemik Lupus Erimatosus ?

T.MUDWAL

Abstract

Acute Liver Failure in patient with an overlap syndrome involving Fulminant Autoimmune Hepatitis and Systemic Lupus Eryyhematosus

Cindy, Andri Thewidya, Emon Winardi, Maisie M.E Johan

Introduction

Autoimmune hepatitis (AIH) is a chronic hepatitis that affects women four times more often than men. Its prevalence is 1.9 per 100.000.1 In 25% of AIH, acute onset of AIH observed, and rare cases of fulminant AIH have been reported.2

Acute liver failure (ALF) occurs 2000 cases per year, the most prominent causes are drug induced liver ijury, viral hepatitis, autoimmune liver disease and hypoperfusion.3,4

The AIH-SLE overlap syndrome is rare. Only 3% patients with AIH satisfy the kriteria for SLE (Systemic Lupus Erythematosus) and 1.7% of patients with SLE had AIH or liver cirrhosis. Patients with liver dysfunction and SLE should be investigated for AIH as these 2 entities can occur together.5,6,7

Case Presentation

A 25-year old female has 3 days of fever, fatigue and nausea, without any history of liver disease. She has leucopenia, thrombocytopenia with negatif Dengue serologic tests, normal bilirubin level and increased level of ALT and AST (110 U/L and 144 U/L).

In the second week, she became icteric with discoid rash and fever. The ALT and AST level were rapidly increased to 748 U/L and 587 U/L, with increased level of GGT (82 U/L), total bilirubin level (15,7 mg/dl), ALP 131 U/L. The serology of viral hepatitis (A,B,C) was negative.

As the total bilirubin level increased to 27,9 mg/dl (conjugated bilirubin 18,3 mg/dl) she became more icteric in the third week, in comatose state. ANA test was positive, anti-dsDNA 29 IU/ml. Gamma globulin increased. C3 & C$ level decreased. She has severe mucosal bleeding with prolongation of aPTT and PT, INR, 3, D-dimer 1200 ng/ml, Anti thrombin III 0%.

We diagnosad this patient with ALF due to Fulminant AIH-SLE overlap syndrome, induced by acute viral infection. She was treated by high-dose corticosteroid, Atithrombin III, Fresh Frozen Plasma, Vitamin K, and other supportive measures. The patient passed away due to severe hemorrhage.

Conclusion

ALF due to AIH has a poor prognosis, therefore an immediate diagnosis and treatment has to be done.5 Antiribosomal P antibody could differentiateSLE-associated hepatitis with AIH.5,6 Test of AMA, anti-SMA, anti-LKM should be done as the means of subclassification of AIH.1,2

Keywords : Acute Liver Failure, Autoimmune Hepatitis, Systemic Lupus Erythematosus.

References :

  1. Heathcote E.J. Autoimmune Hepatitis. In : Tadataka Yamada, et al. Textbook of Gastroenterology fifth edition. UK : Blackwell publishing 2009. p2184-92

  2. Manns M.P., Strassburg C.P. Autoimmune Hepatitis : Clinical Challenges. Gastroenerology. 2001; 120:1502-1517.

  3. Posison J, Lee W.M. AASLD Position Paper : The Management of Acute Liver Failure. Hepatology volume 41. May 2005;5:1779-1196.

  4. Dienstag J.L. Chronic Hepatitis. In : Fauci Kasper, Brauwald, Hauser, Longo, Jameson, et al. Harison’s Principle of Internal Medicine Volume II. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 1955-69.

  5. Usta Y, Gurakan F, Akcoren Z, Ozen S. Case report : An overlap syndrome involving autoimmune hepatitis and systemic lupus erythematosus in childhood. World J Gastroenterol 2007 May 21; 13(19): 2764-2767.

  6. Iwai M, et al. Autoimmune hepatitis in a patient with systemic lupus erythomatosus. Ciin Rheumatol. 2003 Sep;22(3):234-6.

  7. Nassar F, Valsbein E, Assy N. Article : Autoimmune hepatitis – Sle overlap syndrome. Gastrohep.com 30 January 2009.

Diambil dari buku naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2011.

Editor : Ryan Ranitya, Gurmeet Singh, Dicky.

Halaman : 364-365.

 

DISKUSI

 

Saya tidak berhasil mendapatkan naskah lengkap dari pasien tersebut di atas. Walaupun demikian saya berpendapat bahwa abstrak tersebut cukup jelas untuk dapat menjadi bahan diskusi dan sangat penting untuk didiskusikan. Untuk menjawab apakah infeksi virus Dengue dapat memprovokasi terjadinya hepoatitis autoimun dan SLE, kita harus membuktikan dulu bahwa pasien tersebut pada saat waktu masuk rumah sakit memang menderita DBD.

WHO mengatakan 2,5 miliar penduduk dunia atau 2/5 bagian dunia atau >100 negara di dunia potensial untuk terinfeksi virus Dengue (World Dengue Potential Infected/WDPI). Dari jumlah itu, 70%nya berada di Negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja, Timor Leste, Laos dan Brunei). Karena itu sudah sepantasnya, bila ada pasien dengan panas ?7 hari, harus dianggap sebagai infeksi Dengue sampai dengan dibuktikan bukan. Kecurigaan akan adanya infeksi Dengue bertambah besar bila pada pasien tersebut didapatkan trombositopenia. Sebab harus diakui secara kenyataan bahwa pada negara-negara tersebut penyebab tersering trombositopenia adalah infeksi Dengue. Bahkan pada pasien tanpa panaspun tapi didapatkan trombositopenia, menurut hemat saya sudah selayaknya tetap harus dianggap disebabkan infeksi Dengue sampai dengan dibuktikan bukan.  Ada atau tidaknya panas pada prinsipnya disebabkan dari berapa banyak asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamaus. Dan rangsangan hipotalamus untuk mengeluarkan asam arakhidonat ini tergantung berapa banyaknya kerusakan di sirkulasi. Trombosit yang jatuh sedikit misalnya 125.000/mm3 bisa tidak menimbulkan panas bila kerusakan lain di sirkulasi belum terjadi seperti plasma leakage yang luas, DIC, konsumtif koagulopathi, dsb. Dan sering terjadi, terutama pada orang tua yang terinfeksi Dengue, trombosit 125.000/mm3 itu dengan cepat naik sendiri tanpa terapi apapun.

Kembali pada paisen yang tertulis pada abstrak di atas, pasien tersebut secara kritetria WHO 2009 telah dapat dimasukkan sebagai Dengue infection with warning sign karena adanya panas, trombositopenia, mual dan kelemahan, betapapun serologic tes Denguenya negatif. Pada infeksi primer dari virus Dengue IgM baru positif pada hari ke 5 sakit dan IgG positif pada hari ke 14 sakit. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG positif pada hari ke 2 sakit. Dengan dasar ini mendiagnosa pasien tersebut dengan Dengue infection with warning sign atau diyakini adanya infeksi Dengue tidak dapat disalahkan. Dan kemungkinan pasien tersebut mengalami infeksi primer dari virus Dengue. Kebenaran akan diagnosa tersebut akan bertambah besar pula bila kita mendapatkan adanya perdarahan pada pasien walaupun hanya minimal misalnya didapatkan tes bendungan yang positif atau Rumple Leed (RL) test yang positif. Pada abstrak tidak terlihat pemeriksaan RL tersebut. Tetapi walaupun test RL negatif adanya infeksi Dengue tidak dapat disingkirkan berdasarkan uraian di atas. Dan harus diingat pula RL tes itu bisa saja akan positif bila diulang beberapa jam kemudian (oleh karena pada saat itu baru saja terjadi kerapuhan dinding kapiler di daerah tersebut). Kita juga harus mencoba pada lengan yang lain test RL tersebut karena mungkin saja di lengan yang lain tersebut test RLnya positif. Bahkan sering terjadi test RL yang negatif pada awalnya setelah dilihat kembali pada lengan tersebut berubah menjadi positif beberapa menit kemudian. Test RL yang positifpun pada pasien yang panas harus selalu dianggap diakibatkan oleh infeksi Dengue sampai dengan dibuktikan bukan. Pada pasien DM, malnutrisi, defisiensi vitamin C, test RL dapat pula positif walaupun tidak terinfeksi virus Dengue. Selain hal-hal di atas apabila ditemukan pada laboratorium limfosit count <20%, monosit count <3%, Ht/Hb >3x, dan limfosit plasma biru yang >1% kecurigaan adanya infeksi Dengue makin bertambah besar. Hal tersebut telah saya bicarakan panjang lebar dalam situs saya www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.

Cara diagnosa adanya infeksi Dengue berdasar kriteria  WHO 2009 jauh lebih baik ketimbang diagnosa adanya infeksi Dengue berdasar kriteria WHO 1997 terutama pada daerah-daerah hiper endemis Dengue. Sebab pada kriteria tahun 2009 kita tidak harus menunggu panas s/d 2 hari dulu atau menunggu trombosit sampai jatuh <100.000/mm3 untuk mendiagnosa adanya infesi Dengue . dan kita tidak harus memisahkan antara Dengue fever dengan Dengue hemorrhagic fever. Menunggu panas s/d harus 2 hari dulu, adalah satu hal yang sangat berbahaya. Segala hal yang buruk dapat terjadi dalam tempo satu hari tersebut. Begitu juga menunggu sampai trombosit turun di bawah 100.000 adalah hal yang bebahaya pula. Sebab trombosit yang jumlahnya 140.000 pada awalnya bisa saja langsung turun 5.000 dalam tempo sebentar saja. Begitu juga membagi infeksi Dengue menjadi demam Dengue dan demam berdarah Dengue termasuk hal yang berbahaya.  Dalam waktu singkat demam Dengue dapat menjadi demam berdarah Dengue dan kemudian diikuti dengan Dengue Shock Syndrome yang menyebabkan kematian pasien. Begitu juga dengan jumlah hematokrit yang harus meningkat >20% saesuai dengan umur dan jenis kelamin seperti kriteria 1997 sangat sulit dilakukan. Karena kita belum sepakat berapa hematokrit standar untuk Bangsa Indonesia sesuai umur dan jenis kelamin. Begitupun menunggu turunnya hematokrit s/d 20% setelah mendapat cairan akan memperlambat diagnosa adanya infeksi Dengue.

Dengan alasan-alasan di atas jumlah kematian akibat infeksi Dengue bila para dokter mendiagnosa infeksi Dengue berdasarkan kriteria 1997 seharusnya tinggi. Tapi kita melihat bahwa laporan kematian DBD adalah rendah hanya berkisar 1-2% saja bahkan kurang dari 1%. Hal ini terjadi oleh karena kematian yang terhitung itu hanyalah kematian pada pasien DSS/DBD dan kebanyakan yang mati tersebut dirawat di rumah sakit. Pasien dengan diagnosa Dengue fever tidak dirawat atau dipulangkan  dan bila kemudian pasien tersebut berubah menjadi DBD/DSS di rumahnya dan kemudian pasien tersebut meninggal dunia maka secara statistik pasien tersebut tidak tercatat mati karena DBD. Itulah sebabnya apabila kita memakai criteria tahun 1997 untuk mendiagnosa DBD maka kita hanya akan melihat puncak gunung es yang pendek dan badan gunung es yang tidak terlihat. Bila kita menggunakan kriteria 2009 kita akan melihat seluruh gunung es tersebut dan puncaknya yang tinggi. Sehingga kita akan lebih berhati-hati dan berusaha supaya puncak gunung es tersebut tidak sampai tinggi (GAMBAR 1&2). Tapi menurut saya tetaplah tidak seluruh gunung es tersebut akan terlihat. Sebab kriteria WHO 2009 masih mensyaratkan adanya panas untuk mengatakan adanya infeksi Dengue. Sedangkan saya berdasarkan keterangan-keterangan di depan mengatakan bahwa diagnosa infeksi Dengue dapat ditegakkan tanpa harus adanya panas. Baru dengan demikian seluruh gambar gunung es akan terlihat. Contoh dari penerapan teori T.MUDWAL pada berbagai macam kasus dapat dibaca pada situs saya www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.

Dengan uraian-uraian di atas adanya infeksi Dengue pada pasien saat masuk rumah sakit sangat sulit untuk dibantah. Atau mungkin ada sebagian dari sejawat yang mengatakan bahwa panas pada pasien ini disebabkan oleh hepatitis akut dan trombositopenia yang terjadi disebabkan gangguan dari trombopoitin disebabkan hepatitis akut tersebut. Dasar untuk mengatakan hal tersebut karena pada kepustakaan disebutkan fungsi dari trombopoitin adalah stimulasi sumsum tulang untuk trombopoisis, mulai dari stimulasi sumsum tulang untuk membuat trombosit s/d terbentuknya trombosit. Dan trombopotin dihasilkan oleh sel hepatosit.

Pada pasien ini yang meningkat adalah GOT dan GPT, sedangkan bilirubin totalnya tidak meningkat. GOT/GPT dihasilkan oleh banyak jaringan tubuh. Dengan tidak naiknya bilirubin total berarti GOT dan GPT tersebut merupakan jumlah dari organ-oragan yang meradang dari infeksi Dengue dan organ-organ tersebut menghasilkan GOT dan GPT (hati, jantung, otot, paru, ginjal, otak). Pada pasien ini kerusakan sel hati yang sangat berat baru terlihat setelah minggu ke 2 di mana GOT/GPT naik s/d ratusan dan bilirubin totalnya sangat tinggi (15,7). Berdasarkan hasil  laboratorium ditegakkan diagnosa bahwa hal tersebut disebabkan adanya reaksi autoimun dimana sel hepatosit menjadi antigen dan kemudian dihancurkan. Berdasar hal itu panas yang terjadi pada pasien saat masuk rumah sakit bukanlah disebabkan oleh hepatitis. Bagaimana dengan trombopoitin ? Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan diantara jumlah trombopoitin dengan beratnya trombositopenia. Tetapi hubungan menjadi sangat signifikan antara beasarnya limpa dengan beratnya trombositopenia. Pada pasien ini pada saat masuk tidak terjadi kerusakan sel hati yang berat berarti jumlah trombopoitinnya kemungkinan masih normal. Sehingga trombositopenia yang terjadi bukan karena gangguan trombopoitin. Bahkan pada keadaan kerusakan sel hati yang beratpun trombositopenia yang terjadi pada pasien ini yaitu pada minggu ke 3 bukan pula disebabkan oleh trombopoitin. (sesuai dengan kepustakaan yang saya baca seperti yang tertulis di atas).

Bila kita telah menyakini bahwa memang pada pasien ini jelas ada infeksi Dengue maka kita baru dapat masuk ke diskusi utama seperti yang tertulis pada judul yaitu: “Mungkinkah infeksi virus Dengue dapat memprovokasi terjadinya hepatitis autoimun fulminant dan sistemik lupus erimatosus ?”

Sistim imun normal, seharusnya mampu untuk dapat beraeaksi dengan berbagai mikroba tanpa bereaksi terhadap sel atau jaringannya sendiri (self antigen). Bereaksi terhadap self antigen atau kegagalan dalam membedakan self dan non-self antigen adalah dasar dari terjadinya reaksi autoimun. Setiap individu mempunyai limfosit autoreaktif yang siap untuk bereaksi dengan self antigen. Tetapi reaksi ini tidak terjadi oleh karena adanya mekanisme homeostasis sistem imunologi kita (self tolerance). Kegagalan dalam memelihara self tolerance dapat dipacu oleh segala hal yang bersifat antigenik termasuk juga virus Dengue. Masalahnya adalah apakah memang virus Dengue itu potensial untuk menyebabkan itu ataukah tidak ? Saya mengabaikan kekuatan virus Dengue itu .Kesalahan terletak pada respon yang berlebih dari diri kita sendiri terhadap virus Dengue (hipersensitif). Reaksi hipersensitifitas inilah yang memudahkan terjadinya reaksi autoimun bahkan terjadinya SLE. Jadi membicarakan apakah virus Dengue memprovokasi suatu reaksi autoimun seperti tertulis pada judul diskusi kita sebenarnya adalah membicarakan kemungkinan reaksi hipersensitifitas tipe III sebagai dasar patogenesis dan patofisiology infeksi Dengue. Dan bila hal ini diakui, maka pemberian steroid dosis tinggi (dosis immunosupressif) harus diberikan secepatnya setelah diagnosa infeksi Dengue ditegakkan. Pemberian kortikosteroid dosis immunosupressif ini diharapkan dapat mencegah terjadinya reaksi autoimun (kapal tidak menabrak gunung es yang jelas-jelas telah berada di depan mata). Karena itu kita akan mendiskusikan teori-teori patogenesis dan patofisiologi Dengue dan silahkan pada kita untuk memilih mana teori yang paling kuat.

Untuk DBD, pada prinsipnya ada 3 teori yang menerangkan kenapa seseorang terkena DBD :

  1. 1.      Teori keganasan virus

Virus Dengue yang berkolaborasi dengan ekosistem yang buruk, akan menyebabkan virus Dengue itu bertambah kuat, bertambah banyak, dan menyebar ke seluruh wilayah negara tersebut untuk kemudian mengalahkan sistem imunitas seseorang. Kemiskinan penduduk, pendidikan yang rendah, akan menambah cepat daerah atau negara tersebut untuk mendapat cap sebagai negara atau daerah hiperendemis Dengue. Berat atau ringannya gejala klinik pada seseorang bergantung dari tipe keganasan virusnya dan daya tahan tubuh seseorang. Untuk Indonesia virus Dengue 3 lah yang  dianggap paling ganas.

  1. 2.      Teori keganasan virus yang dikombinasi dengan kesalahan respon sistem imun pada saat virus Dengue masuk kedalam tubuh (Teori Halstead).

Tubuh berhasil mengatasi infeksi Dengue yang dianggap terganas sekalipun, asalkan tidak terbentuk antibodi non neutralizing. Antibodi non neutralizing, baru terbentuk bila tubuh terinfeksi virus Dengue dari serotipe yang berbeda (Secondary Heterologous Infection Theory). Jadi secara tidak langsung pada teori ini tidak ada istilah virus Dengue yang ganas atau tidak ganas. Semua virus Dengue adalah ganas apabila dia berhasil masuk dalam sel targetnya, bereplikasi dan bertambah kekuatannya di sel target tersebut untuk kemudian masuk lagi kedalam darah(terjadi viremia). Antibodi non neutralizing, memacu masuknya virus kedalam sel target tersebut.

Jadi berdasar teori ini, apa bila seseorang terinfeksi satu macam virus Dengue saja dari tipe apa saja,baik 1 kali atau terus menerus, orang tersebut tidak akan pernah sakit DBD (terjadi kekebalan seumur hidup terhadap virus itu saja/terbentuk antibodi neutralizing seumur hidup terhadap virus itu saja). Walaupun demikian, kekebalan terhadap 1 virus itu juga sekaligus menjadi pemicu terbentuknya antibodi non neutralizing bila tubuh kemasukan virus Dengue dari tipe yang lain. Teori inilah yang sekarang banyak dipakai di seluruh dunia.

  1. 3.      Kesalahan respon imunitas individulah sebagai dasar utama terjadinya sakit DBD (Teori Hipersensitifitas tipe III T. Mudwal / www.dhf-revolutionafankelijkheid.net)

Saya menyatakan teori ini berdasakan :

  1. a.     Tidak semua orang atau ras  akan terkena DBD.

DBD terutama mengenai Asia Tenggara dan Pasifik Barat (betapa pun saat ini, DBD telah menyerang hampir 100 negara di dunia dan macam-macam ras). Pengamatan selama 15 tahun terhadap pasien-pasien DBD, menunjukan etnis Arab, Cina, kulit putih, sangat jarang terkena DBD, bahkan pada saat KLB  sekalipun. Pengalaman pada saat sekolah di RSCM, bekerja di Caltec Pasifik Riau dan bekerja pada saat ini, merupakan dasar untuk menyatakan itu selain kenyataan yang ada di atas dunia ini seperti yang dituliskan di jurnal-jurnal.

 

  1. Imunitas buruk, gejala klinis justru ringan

Apabila kita memakai patokan bahwa DBD berat, adalah seseorang dengan riwayat panas ?7 hari, adanya syok, sesak napas, hepatosplenomegali, perdarahan hebat/DIC dan trombosit ?20.000/mm3, maka hal-hal tersebut banyak terjadi pada orang dengan gizi baik yang secara perhitungan kasar, mempunyai sistem imunitas baik ketimbang seseorang dengan gizi buruk atau orang dengan usia > 60 tahun, dimana secara perhitungan kasar sistem imunitasnya buruk. Sulit sekali seorang pasien HIV yang jelas-jelas mempunyai imunitas yang buruk untuk terkena penyakit DBD. Penyakit DBD hanya bisa mengenai passien HIV bila CD4 masih diatas 200 cel/mm3. Atau sistem imunitasnya masih lumayan baik.

 

  1. c.      Kesalahan respon dari sistem imunitas kita.

Sama seperti Halstead, antibodi yang terbentuk tidak mampu membentuk antibodi neutralizing (terbentuk antibodi non neutralizing) . Tapi saya tidak mengatakan itu sebagai antibodi non neutralizing. Saya mengatakan itu adalah Ig G/ IgM imperfect (karena secara imunologis, imunoglobulin kita adalah IgA, IgE, IgD, IgM, IgG). Terbentuknya Ig G / IgM imperfect oleh karena sensitifnya tubuh terhadap antigen Dengue, sehingga sel plasma yang belum cukup umur untuk membuat antibodi, ikut-ikutan membuat antibodi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel limposit  plasma biru (LPB) pada pasien DBD. Hanya DBD lah yang dapat menyebabkan terlihatnya sel-sel LPB dalam waktu akut (< 7 hari masa sakit). Bahkan ada penelitian yang mengatakan, LPB ini terdapat pada 98 % pasien DBD. Pada orang sehat LPB tidak terlihat sama sekali (nol %). Akibat Ig G/ IgM yang tidak terbentuk sempurna, virus berhasil melepaskan diri dari ikatan Ig G/IgM tersebut dan masuk pada sel targetnya. Jadi pada Ig G/IgM imperfect tidak terjadi pemacuan terhadap virus untuk masuk pada sel targetnya, seperti yang dikemukakan Halstead. Ikatan antigen dan antibodi  tetap terjadi, tetapi ikatannya lemah.

Karena sel target dari virus Dengue adalah sel tentara kita (monosit, makrofag dan sel kupfer) maka kompleks imun yang terbentuk, baik antara Ig G/IgM perfect dengan antigen dan sebagian kecil Ig G/IgM imperfect dengan antigen gagal dihancurkan oleh sel tentara kita sehingga menyebar keseluruh tubuh (dinding kapiler, trombosit, susmsum tulang, hati, limpa, otak, jantung, mata, dan sebagainya). Kembalinya sel tentara kita pada fungsi yang normal atau datangnya sel-sel tentara dari markasnya di sumsum tulang yang normal menyebabkan kehancuran dari kompleks-kompleks imun tersebut. Derajat beratnya DBD tergantung dari lokasi dan banyaknya kompleks imun yang hancur. Dengan alasan itulah saya mengatakan dasar dari patogenesis  dan patofisiologi DBD adalah reaksi Hipersensitifitas kompleks imun (reaksi Hipersensitifitas tipe III).

Adanya kompleks-kompleks imun yang banyak ini dapat memicu kekacauan dalam sistem pengaturan kekebalan tubuh kita. Sehingga dapat terjadi sel-sel tubuh yang seharusnya tidak dihancurkan, menjadi ikut dihancurkan (terjadi reaksi autoimun). Pada tingkat tertinggi, reaksi autoimun ini dapat terjadi pada banyak organ atau terjadi SLE. Apabila mekanisme self tolerance dapat mengontrol ini maka reaksi autoimun selesai atau orang tersebut menjadi normal . Tetapi bila tidak, maka reaksi autoimun dapat terjadi seumur hidup seperti ITP, SLE, chronic hepatitis autoimmune, rheumatoid arthritis, dsb. Pengetahuan akan teori ini  akan menjawab bahwa penyebab Evan syndrome ataupun HELLP syndrome kemungkinan adalah infeksi virus Dengue juga.Hal lain yang perlu diingat adalah kesembuhan pada organ-organ yang rusak post infeksi Dengue pun mungkin bisa terjadi tidak sempurna. Adanya anemia aplastik, stroke, gangguan penglihatan akibat retina yang rusak dan sebagainya mungkin saja terjadi.

Hal lain yang membuktikan bahwa hipersensitivitaslah sebagai penyebab terjadinya penyakit DBD adalah berhasilnya pemberian obat untuk menekan hipersensitivitas itu (kortikosteroid dosis immunosupressif) seperti yang dilakukan Waly et al (FK UI 1997), Hendarsih et al (FK UNPAD 2004), dan Futrakul et al (Thailand 1987).

Berdasar keterangan di atas reaksi DBD hebat baru akan terjadi bila antigen yang masuk jumlahnya banyak, antibodi imperfect yang terbentuk banyak, makrofag yang invalid akibat terinfeksi Dengue banyak serta lokasi dan banyaknya kompleks imun yang dihancurkan. Infeksi virus dalam jumlah kecil dari satu macam virus saja biasanya tidak menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe III. Atau bisa juga memberikan reaksi tetapi biasanya ringan (demam, sakit kepala, pegal linu, gangguan penglihatan dsb). Walaupun demikian bisa juga memberikan reaksi yang berat bila seperti yang dikemukakan di atas, antigen yang masuk sangat banyak atau bersifat super antigen. Atau individu tersebut terlalu sensitif sehingga antibodi IgM imperfect yang terbentuk sangat banyak atau terjadi mutasi genetik baik dari virus itu maupun individunya. Perbedaan teori saya dan Haslstead, bila Halstead mengatakan bahwa infeksi satu macam virus yang pertama kali akan mengakibatkan kekebalan seumur hidup maka saya mengatakan tidak. Tidak ada kekebalan seumur hidup pada orang hipersensitif. Reaksi yang terjadi tergatung seperti apa yang telah diterangkan di atas. Hal ini lah sebagai dasar dari saya untuk mengatakan kenapa infeksi primer dapat memberikan gejala klinis. Suatu hal yang sulit untuk dijawab Halstead. Sehingga keluar lagi teori antibodi dependent enhancement untuk menerangkan kenapa infeksi primer dapat menyebabkan gejala klinik. Dimana berdasarkan teori ini terjadinya sakit pada infeksi primer karena orang tersebut mendapatkan antibodi non neutralizing dari ibunya. Sehingga bila terjadi infeksi virus Dengue dari tipe yang berbeda seperti apa yang telah mengenai ibunya terjadilah penyakit DBD. Sedangkan menurut saya anak 0 – 4 bulan memang akan mendapatkan antibodi dari ibunya sesuai dengan virus Dengue yang telah mengenai ibunya. Tetapi setelah itu karena genetiknya sendiri. Terbentuklah IgM yang sensitif. Setelah enam bulan terbentuklah IgG yang sensitif. Jadi antibodi terhadap virus Dengue yang diterima anak dari ibunya itu, hanya bertahan sekitar 6-9 bulan. Untuk kemudian sakitnya anak itu karena DBD disebabkan sensitifnya IgM dan IgG anak itu sendiri. Sensitifitas adalah diturunkan atau genetik.

Infeksi virus Dengue yang kedua kali dalam jumlah kecil dan virus yang sama, bisa tidak terjadi reaksi tapi tidak terjadi kekebalan seumur hidup. Meskipun demikian bila terjadi infeksi virus kedua kali dari virus tipe yang berbeda walaupun dalam jumlah kecil lebih berbahaya ketimbang infeksi virus yang sama dalam jumlah besar (sama seperti Teori Halstead). Hal ini karena virus yang berbeda akan memberikan rangsang yang lebih kuat untuk terjadinya kesalahan respon imun ketimbang virus yang sama. Tetapi bila terinfeksi lagi oleh virus yang ketiga atau keempat (virus Dengue yang lain) maka reaksi yang akan terjadi lebih ringan karena sebagian dari sifat-sifat virus tersebut telah dikenal oleh sistem imunitas kita (karena sama-sama virus Dengue).

Demikianlah diskusi dari abstrak kita. Jelas pada pasien ini menderita DBD atau terjadi infeksi Dengue. Apabila diagnosa dapat ditegakkan secepatnya (kita dapat melihat adanya gunung es yang jelas sangat tinggi itu) maka menurut saya berikan kortikosteroid dosis immunosupressif secepatnya. Semoga reaksi autoimun seperti hepatitis autoimmune, SLE, ITP, rhemtoid arthritis, dsb tidak terjadi. Begitu juga kematian ataupun squelle akibat infeksi Dengue seperti stroke, gangguan penglihatan, infark, miokard, anemia aplastik, dsb dapat dihindarkan (kapal dapat dibelokkan untuk menghindari gunung es yang jelas-jelas menjulang tinggi di depan mata).

image008