Kontroversi Penelitian Tentang Efek Kortikosteroid Pada Infeksi Dengue

Taufiq Muhibbudin Waly

RSUD Waled, Cirebon, Indonesia

Debat tentang penggunaan kortikosteroid pada infeksi Dengue telah berlangsung puluhan tahun. Minimal 42 tahun yaitu setelah Pongpanich, et al mencoba mengevaluasi hasil penelitian pemberian kortikosteroid pada pasien DBD(1973)[1]. Hasil dari penelitian pemberian kortikosteroid itu, umumnya tidak berhasil seperti yang ditulis Zhang, Kramer CV[2]. Tidak berhasil dalam arti, tidak ada perbedaan bermakna baik diberikan kortikosteroid ataupun tidak. Syok tetap saja terjadi. Begitu juga dengan trombositopenia berat, asites, terjadinya perdarahan dan kejadian masuk ICU, walaupun kortikosteroid dosis tinggi diberikan sebelum hari ke-5 sakit (Early State of Dengue Infection).

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Oxford bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Ho Chi Min, Viet Nam[3]. Mereka juga mendapatkan, bahwa pemberian kortikosteroid dosis tinggi  secara oral (2 mg/kg bb per hari, maksimal 60 mg metilprednisolon per hari) pada pasien terinfeksi Dengue dengan panas ≤ 72 jam ternyata di dapatkan hasil bahwa pemberian kortikosteroid dosis tinggi tersebut tidak memberikan manfaat. Tidak bermanfaat karena frekuensi terjadinya syok, masuk ICU, rata-rata hematokrit, adanya perdarahan, rata-rata jumlah trombosit, tidak ada perbedaan bermakna antara pasien yang mendapatkan dosis tinggi, dosis rendah (0,5 mg/kg bb per hari) maupun yang tidak mendapatkan kortikosteroid.

Dari penelitian itu juga, Hanh Tienh Nguyen dkk mendapatkan bahwa pada pasien yang diberikan kortikosteroid dosis tinggi itu, ternyata sel-sel yang mirip dengan Natural Killer dan limposit T tetap ada[4]. Begitu juga dengan jumlah sitokinnya. Tidak ada perbedaan bermakna antara pasien yang mendapatkan dosis tinggi atau rendah maupun yang tidak mendapatkan kortikosteroid. Sehingga Thi Hanh Tienh Nguyen dkk mengambil kesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada pasien DBD, gagal menekan respon imun.

Diskusi

Tertulis pada kepustakaan bahwa pemberian kortikosteroid dosis besar dalam rentang waktu kurang dari 1 minggu adalah aman, bila tidak ada perdarahan gastrointestinal[5]. Range dosis tinggi atau dosis imunosupresif kortikosteroid sangatlah lebar. Kita dapat memberikan dosis 1000 mg metilprednisolon atau 30 mg/kg berat badan perhari pada kasus Lupus Nefritis atau syok[6,7]. Dilain pihak kita dapatkan pula efek imunosupresif dari prednisone misalnya untuk mengatasi penyakit auto imun adalah 1-2 mg/kg berat badan perhari[8]. Atau kalau dikonversi ke metilprednisolon adalah 1,25-2,5 mg/kg berat badan perhari. Secara kepustakaan metilprednisolon dianggap mempunyai efek imunosupresif atau high dose bila diberikan dalam kisaran 0,5-1,7 mg/kg berat badan perhari[6]. Dan dosis maksimal yang ditolerir perhari adalah 80 mg metilprednisolon[6]. Meskipun demikian pada peneliti hanya berani memberikan metilprednisolon secara oral maksimal 60 mg perhari (imunosupresif/high dose). Dengan range  dosis imunosupresif yang begitu besar dari metilprednisolon (bisa sampe 1000 mg perhari)[7]. maka semua penelitian yang menyatakan bahwa metilprednisolon high dose, tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada infeksi Dengue, sebenarnya adalah suatu pernyataan yang naïf. Karena mereka hanya memberikan metilprednisolon maksimal 60 mg perhari.

Dengan menggabungkan apa yang telah saya tulis pada “Again Let’s Discuss about Patogenesis and Pathophysiology of DHF”[9], maka dapat disimpulkan, bahwa kegagalan pemberian kortikosteroid pada infeksi Dengue disebabkan:

1. Terlambatnya waktu pemberian kortikosteroid.

Kortikosteroid baru diberikan pada fase penyembuhan atau setelah 4 hari sakit.

2. Pemberian kortikosteroid dengan kekuatan lemah seperti hidrokortison

3. Kortikosteroid diberikan dalam keadaan sudah berat seperti syok atau sepsis

4. Tidak memberikan kortikosteroid dalam dosis imunosupresif

Pada kasus-kasus dimana kortikosteroid telah diberikan dari jenis yang kuat (metilprednisolon), waktu pemberian yang tepat yaitu pada early state of Dengue infection (3 hari demam) dan telah diberikan dosis imunosupresif oral (2 mg/kg berat badan perhari). Maka kegagalannya disebabkan:

  • Kortikosteroid yang diberikan  tidak mencapai dosis imunosupresif karena maksimal pemberian hanya 60 mg. Dari penelitian Oxford pada 225 pasien itu semuanya berumur 12-15 tahun. Bila Indonesia menjadi patokan maka rata-rata berat badan anak Indonesia umur 12-15 tahun adalah 40 kg. Jadi seyogyanya dosis yang diberikan pada kelompok yang mendapatkan high dose metilprednisolon seharusnya adalah rata-rata 80 mg perhari. Jadi  bila metilprednisolon 2 mg/kg berat badan perhadi dianggap sebagai batas minimal metilprednisolon itu berefek imunosupresif, maka itu berarti seluruh sample penelitian itu(225 pasien), tidak diberikan dosis imunosupresif. Futrakul yang penelitiannya tidak ikut di review oleh Zhang, mendapatkan hasil yang baik dengan memberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan perhari pada pasien infeksi Dengue yang syok[10]. Saya sendiri selalu memberikan metilprednisolon dosis tinggi pada pasien DBD dewasa 125 mg injeksi metilprednisolon bila berat badan < 60 kg. dan 250 mg injeksi metilprednisolon pada pasien dengan berat badan > 60 kg[11]. Bahkan pada pasien berat seperti syok, saya memberikan 2×250 mg metilprednisolon  injeksi atau kalau perlu 2×500 mg metilprednisolon injeksi (Think of Possible Existence of Dengue Infection Before You Play Your Surgery Knife/www.dhf-revolutionafankelijkheid.net)[12].

Dengan tak tercapainya dosis imunosupresif pada penelitian Oxford tersebut, maka logis apabila sel-sel Natural Killer atau limposit T tetap ada. Begitu juga logis apabila tidak ada perbedaan bermakna pada jumlah sitokin pada pasien yang mendapatkan metilprednisolon dosis tinggi, rendah atau yang  tidak mendapatkan.

  • Termasuk keberhasilan dari terapi kortikosteroid dosis tinggi, ialah apabila naiknya trombosit untuk mencapai jumlah 100.000 lebih cepat ketimbang pasien yang tidak diberikan kortikosteroid. Penelitian saya dan Hendarsih adalah contohnya[13,14]. Data tentang kecepatan naiknya jumlah trombosit menjadi 100.000 tidak ada pada penelitian Oxford dan review dari Zhang. Begitu juga dengan fenomena-fenomena naik turunnya jumlah trombosit tidak ada pada jurnal-jurnal tersebut. Pada penelitian saya fenomena turun naiknya jumlah trombosit lebih sedikit pada pasien yang mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi ketimbang yang nonsteroid. Dan keberhasilan ini menjadi poin nomor 5.

5. Lamanya waktu, naiknya jumlah trombosit menjadi 100.000 /mm3 dan jarangnya terjadi fenomena-fenomena naik turunnya jumlah trombosit harusnya juga menunjukkan keberhasilan pemberian kortikosteroid dosis tinggi.

6. Harus diingat pula bahwa dosis kortikosteroid imunosupresif, dapat bersifat individual. Bila dengan dosis 1×125 mg injeksi metilprednisolon, jumlah trombosit terus turun mungkin saja efek imunosupresifnya belum tercapai. Dosis bisa di naikkan 2×125 mg dan seterusnya. Dengan pengertian seperti ini pula, kita dapat mengerti kegagalan Shashidhara, et al.[15] Mereka hanya berani memberikan dexametason 20mg/hari (sebanding 106mg metilprednisolon). Pada penelitian itupun tidak disebutkan pada hari keberapa kortikosteroid diberikan. Kortikosteroid yang diberikan sebelum hari ke-5 sakit akan memberikan efek yang lebih baik [11,13].

Kesimpulan

Dari diskusi diatas, dapat pula disimpulkan bahwa penelitian dengan memberikan kortikosteroid dosis imunosupresif tidaklah mudah. Harus ada keberanian disitu untuk konsisten memberikan dosis 2 mg/kg berat badan perhari atau memberikan dosis kortikosteroid dalam bentuk injeksi. Dosis yang kita anggap telah imunosupresif itu pun, belum tentu berefek imunosupresif pada seseorang (bersifat individual). Bila hal-hal tersebut tidak mungkin diteliti atau kita takut melakukan penelitiannya, maka mendiskusikan kembali patogenesis dan patofisiologi dari infeksi Dengue yang lebih mendekati kebenaran, seyogyanya harus dilakukan. Sebab yang membedakan terapi seorang dokter dengan rasputin atau yesus adalah patogenesis dan patofisiologi penyakit itu.

Saya mengklaim bahwa patogenesis dan patofisiologi terjadinya penyakit akibat infeksi virus Dengue adalah suatu reaksi hipersensitivitas tipe III. Adanya antibodi yang tidak sempurna (non-neutralizing antibody), sel plasma yang tidak sempurna (limposit plasma biru) bertambah berat nya penyakit setelah komplek imun terbentuk, penyebaran komplek imun ke seluruh tubuh, ras asia tenggara menyumbang 70% penyakit infeksi Dengue di dunia[16], makin rendah imunitas maka makin ringan gejala kliniknya, ditemukannya antibodi trombosit, bagi saya semuanya jelas menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe III (Again, Leet’s Discuss About Patogenesis and Patophysiology of DHF)[9].

Daftar Pustaka

  1. Pongpanich B, et al. Studies on dengue hemorrhagic fever. Clinical study: an evaluation of steroids as a threatment. J Med Assoc Thai 1973, 56:6-14. Google Scholar.
  2. Zhang F, Kramer CV. Corticosteroid for dengue infection (Review). The Cochrane Collaboration  2014.
  3. Dong T. H. Tam, et al. Effect of Short Course Oral Corticosteroid Therapy in Early Dengue Infection in Vietnamese Patients: A Randomized, Placebo-Controlled Trial. Oxford University Press on behalf of the Infectious Diseases Society of America 2012.
  4. Thi Hanh Tien Nguyen, et al. Corticosteroids for Dengue – Why Don’t They Work?. 2013
  5. Boumpas DT, et al. Glucocorticoid therapy for immune-mediated diseases. Basic and clinical correlates. Ann Intern Med 1993; 119:1198-1208.
  6. Drugs.com. Methylprednisolone Dosage.
  7. Aditi Singha, Arvind Bagga. Pulse Steroid Therapy. Indian Journal of Pediatrics, Volume 75 – October, 2008.
  8. Bruce M. Hall, et al. Corticosteroids in autoimmune diseases. Aust Prescr 1999;22:9-11
  9. Taufiq M Waly. Again, Let’s Discuss About DHF Pathogenesis and Pathophysiology. from www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
  10. Futrakul P, et al. Hemodinamic response to high dose methylpredisolone and mannitol in severe Dengue-shock patients unresponsive to fluid replacement. South East Asian J Trop Med Pub Hlth 1987;18:373-9.
  11. T. Mudwal. The Summary of T. Mudwal Type III  Hypersensitivity And Application Of The Theory. www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
  12. T. Mudwal. Think Possible Existence of Dengue Infection Before you Play the Surgery Knife. www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
  13. Wally T M, et al: The role of platelet antibody and bone marrow in adult Dengue hemorrhagic fever with thrombocytopenia. Med J Indones 1998; 7 : 242-8.
  14. Hendarsih E: The role of methylpredisolone on platelet amount in DHF patient (thesis). Padjajaran University, Bandung, 2004.
  15. K.C Shashidhara, K.A Sudharshan Murthy, H. Basavana Gowdappa, Abhijith Bhograj: Effect of High Dose of Steroid on Plateletcount in Acute Stage of Dengue Fever with Thrombocytopenia. 2013
  16. WHO. Dengue guidelines for diagnosis treatment, prevention and control. A joint publication of the WHO and the special programme for research and training in tropical disease, 2009.