Klinisi Dicucuk Hidungnya?
(Bangkitlah Internist Sedunia)
dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp. PD
Saya mendapatkan tulisan dari seorang spesialis bedah ortopedi (dr. Yogi Prabowo Sp. OT). Beliau mengatakan, rasa ketidakpuasannya atas penanganan wabah pandemi COVID-19 di dunia ini, terutama Indonesia. Dimana menurut beliau, penyebab utamanya adalah lemahnya andil para klinisi dalam mengatasi wabah tersebut.
Isi suratnya adalah sebagai berikut:[1]
KALAU diibaratkan pertandingan Sepak Bola, maka score minimal sudah 3-0 untuk para Epidemiolog mempercundangi Klinisi (dokter) dalam Kejuaraan Piala Penanggulangan Covid-19.
Bagaimana tidak, coba kita lihat ketiga gol tersebut. Gol pertama dicetak oleh para Epidemiolog, dalam hal menjelaskan “pathogenesis dan pola penyebaran”, yang disinyalir bahwa virus ini menyebar dari hewan ke manusia lalu penyebaran akan bertambah sesuai dengan perhitungan model angka-angka ala epidemiolog dan ahli matematika yang hasilnya cukup menyeramkan dan berhasil menimbulkan fearness dan panic attack terhadap masyarakat.
Sementara itu para klinisi “dipaksa” ikut irama para epidemiolog dan melupakan keilmuannya yang sudah dipelajari dibangku kuliah kedokteran, yaitu Ilmu virologi dasar dan ilmu Patologi (pathogenesis) yang bisa menjelaskan cara transmisi penularan virus.
Kita masih ingat dikala wabah Flu Burung melanda Indonesia, Siti Fadilah Supari dan lembaga Eijkman berhasil membantah bahwa virus yang menular dari hewan bisa menular dari manusia ke manusia karena mempunyai reseptor yang berbeda. Dan mutasi virus tidak semudah itu terjadi karena memerlukan proses serta intervensi.
Prediksi angka-angka ala epidemiolog yang begitu menakutkan juga membuat klinisi ‘melupakan’ atau tidak mempercayai adanya faktor lain yang mempengaruhi penyebaran virus, yaitu ilmu Imunologi. Epidemiolog tidak bisa menjelaskan tentang fenomena, ada satu orang yang sangat infeksius (super spreader) masuk ke gereja di Korea Selatan atau ke kapal pesiar Diamond Princess lalu menularkan puluhan atau ratusan orang lain. Sementara asisten salah seorang menteri yang terkena Covid-19 sehat-sehat saja walaupun hampir tiap saat mendampingi.
Seharusnya para klinisi mampu menjawab fenomena timbulnya virus baru ini, karena virus corona (SARS-CoV-2) ini bukan yang pertama kali muncul, tetapi didahului oleh virus Corona lain seperti SARS-Cov (Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus) yang muncul tahun 2002, dan virus MERS (Middle East Repiratory Syndrome) atau Flu Unta pada tahun 2012.
Jadi pengalaman masa lalu tersebut bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi Covid-19. Namun kelihatannya hampir seluruh dunia tergagap menghadapi Covid-19 ini sehingga meluas ke seluruh dunia menjadi Pandemi.
Bahkan mengenai cara transmisi virus ini pun masih banyak kontroversi antara penyebaran melalui droplet atau aerosol (udara) walaupun akhirnya semua sepakat dari droplet dapat berubah menjadi aerosol dengan perlakuan tertentu.
Kontroversi lainnya adalah mengenai kecepatan penyebaran yang secara geografis, pertambahan jumlah penderita di negara tropis seperti negara Asia Tenggara tidaklah sepesat pada negara subtropis seperti China, Eropa dan Amerika.
Kontroversi lainnya adalah para epidemiolog berhasil memaksa para klinisi untuk mendukung dan sangat menyarankan diberlakukannya kebijakan Lockdown atau mengunci wilayah untuk mencegah keluar masuk orang ke wilayah tersebut.
Kebijakan ini memang terlihat berhasil diterapkan di Wuhan sebagai daerah episentrum penyebaran virus, dengan terlihat menurunnya kasus Covid-19 di Wuhan. Tetapi tetap tidak berhasil mencegah meluasnya Covid-19 di negara-negara lain seluruh dunia.
Sementara gambaran lain di wilayah asia tenggara seperti di Malaysia ketika jumlah kasus mencapai 500 diputuskan menerapkan lockdown selama 2 minggu, dan jumlah kasus Covid-19 tetap meningkat mencapai 4.000 pada pertengahan April (tertinggi di ASEAN). Begitu pula di Filipina yang memperpanjang lockdown hingga akhir April karena belum melihat hasil yang signifikan dalam mengurangi laju pertambahan Covid-19
Gol kedua dicetak oleh para epidemiolog yang berhasil memaksa para klinisi untuk tidak menggunakan ilmu diagnosis penyakit yang selama ini dipelajari. Klinisi seperti ‘dicucuk hidung’ untuk mengobati bukan berdasarkan pada diagnosis klinis seperti misalnya Pneumonia (radang paru) dan sebagainya. Tetapi harus menggunakan “Diagnosis Kesehatan Masyarakat ala Epidemiolog, yaitu OTG, ODP , PDP dan COVID+.
Bahkan pasien yang awalnya diagnosisnya bukan Covid-19, misalnya pasien kanker, bisa mendadak berubah vonis pada akhirnya menjadi Covid-19 akibat memenuhi kriteria yang ada dibuat. Akibatnya menimbulkan rasa ketakutan dan keresahan dikalangan tenaga kesehatan yang menanganinya.
Diagnosis ala epidemiolog itu memberikan ‘Ketidakpastian’ ditengah minimnya ketersediaan alat diagnostik kemudian berimbas menjadi ‘Kecemasan’ yang berdampak pula terhadap pengambilan keputusan dalam pengobatan. Hal ini bisa menimbulkan Inefisiensi dan inefektifitas dalam pengobatan.
Seharusnya para klinisi tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip penegakkan diagnosis dan berupaya memperjelas diagnosis pasti. Tanpa melupakan upaya pencegahan penularan Covid-19 dengan tetap mengupayakan zonasi atau kohort berupa pemilahan pasien yang beresiko.
Disaster triage juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pengobatan, dengan cara mengklasifikasikan derajat beratnya Covid-19 dan mengirim ke fasilitas kesehatan yang sesuai berdasarkan fasilitas dan kemampuannya.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh klinisi untuk mengurangi angka kematian adalah dengan mengobati pasien Covid-19 secara multidisiplin ilmu karena pasien Covid-19 ini dapat disertai dengan penyakit-penyakit lainnya
Gol ketiga, pada menit berikutnya kembali klinisi kebobolan. Para klinisi lagi-lagi “dipaksa” untuk lebih melakukan Tracing terhadap pasien Covid-19 dan orang-orang disekitarnya ketimbang fokus pada pengobatan pasien itu sendiri. Bahkan pasien-pasien dengan comorbid juga menjadi resiko tinggi yang berdampak pada meningkatnya angka mortalitas.
Bahkan untuk penagihan pembiayaan pengobatan Covid-19 kepada pemerintah, disyaratkan pengisian formulir PE (Penyelidikan Epidemiologi). Seharusnya kerjasama antara epidemiolog dan klinisi bisa diwujudkan dalam irama yang lebih baik, masing masing sesuai dengan porsinya dan ditempatkan sebagaimana mestinya
Akankah para klinisi ini segera bangkit dari keterpurukannya dan bersama para epidemiolog maju melawan musuh bersama yaitu Covid-19.
Terlihat dari artikel yang beliau buat, rasa kekesalan hatinya terhadap klinisi, dengan mengatakan para klinisi telah dikontrol oleh epidemiologist. Seperti kerbau yang di cucuk hidungnya. Bila dalam permainan sepak bola, menurut beliau kesebelasan klinisi telah kalah telak 0-3 terhadap kesebelasan epidemiologist.
Mari kita menganalisa goal-goal tersebut, berdasarkan yang beliau tuliskan.
1. Goal pertama
Para klinisi setuju saja dengan banyaknya angka kesakitan dan kematian COVID-19 yang di klaim oleh epidemiologist. Seyogyanya para klinisi mengevealuasi patogenesis dari COVID-19 itu. Apakah angka kesakitan dan angka kematian itu betul-betul oleh karena COVID-19 atau bukan.
Tetapi para klinisi tidak melakukan hal tersebut. Mereka mengamini saja apa-apa yang dikatakan oleh epidemiologist itu. Hal itu berefek kesebelasan epidemiologist berhasil mengajak kesebelasan klinisi untuk meminta pemerintah melakukan tracing, lockdown, bahkan vaksinasi untuk seluruh rakyatnya.
2. Goal kedua
Kesebelasan epidemiologist meningkatkan serangannya, dengan mengatakan telah timbulnya mutasi virus baru yang lebih berbahaya. Kesebelasan klinisi, bertambah gagap. Bahkan memperlemah pertahanannya dengan mengabaikan brain skill dan hasil belajar 5-6 tahun di penyakit dalam (internist).
Adanya gambaran pneumonia pada rontgen selalu di coba untuk dihubungkan dengan epidemiologist, yaitu PDP dan ODP. Bahkan tanpa gejala apapun seorang klinisi dapat mendiagnosisnya sebagai OTG.
3. Goal ketiga
Goal ketiga yang terjadi adalah akibat kepanikan luar biasa kesebelasan klinisi setelah terjadinya 2 gol yang di ciptakan kesebelasan epidemiologist. Tracing, tracing dan tracing adalah yang pertama harus di lakukan pada pasien dengan diagnosa apapun, bila swab tenggoroknya positif. Termasuk juga mentracing orang-orang di sekitarnya yang di curigai sebagai COVID-19. Sehingga dapat berakibat terabaikannya penanganan pasien-pasien itu bila mereka mempunyai komorbid yang berbahaya.
Analisa kekalahan:
Banyak klinisi yang tidak suka dengan tulisan dr. Yogi Prabowo Sp. OT itu. Bahkan mengatakan tulisan itu memecah belah antar dokter spesialis. Karena COVID-19 ini adalah penyakit yang baru. Tapi bagi saya tulisan itu adalah masukan yang baik. Masalahnya adalah apakah memang benar demikian. Kalau benar seyogyanya para klinisi memperbaiki diri. Kalau apa yang di katakannya salah, maka dimana salahnya pernyataan itu?
Pada hemat saya, tulisan itu hanya menunjukkan kegalauan beliau dalam masalah COVID-19. Bukan keinginan untuk memecah belah antar dokter spesialis. Dia melihat klinisi tidak menunjukkan keilmuannya dalam memberikan sumbangan pemikiran menghadapi pandemi COVID-19. Klinisi hanya mengikuti saja apa yang dikatakan epidemiologist.
Pada hemat saya pula, internist adalah komandan dari klinisi. Atau kapten dari kesebelasan klinisi. Karena itu tulisan dr. Yogi Prabowo Sp. OT hakikatnya ditujukan pada internist. Dan sebagai internist senior (24 tahun sebagai internist) wajib bagi saya untuk memberikan komentar terhadap tulisan tersebut.
Kami internist dilatih untuk tidak tunduk pada laboratorium dan rontgen. Hal itu hanyalah sebagai alat bantu kami dalam menegakkan diagnosis. Kami tunduk pada anamnesis, dan pemeriksaan fisik yang kami lakukan. Patogenesis suatu penyakit, adalah hal yang paling mendasar bagi kami. Brain skill yang didasarkan atas bacaan yang luas adalah senjata kami.
Dengan dasar itu, kami kesebelasan internist semestinya tidak gampang untuk di kalahkan secara mudah oleh kesebelasan epidemiologist. Betapapun harus di akui bahwa pada awalnya kami merasa gagap dengan serangan cepat kesebelasan epidemiologist.
Hanya dalam tempo 1,5 bulan setelah Wuhan di lockdown (23 Januari 2020), pada tanggal 9 Maret tahun 2020 COVID-19 telah menyebar ke 109 negara[2]. Dengan persentase kematian yang cukup tinggi (diatas 2%), yaitu 3,48 %[2] Dan pada bulan Mei 2020 para epidemiologist menunjukkan data yang menyeramkan bagi seluruh warga negara Amerika Serikat dan dunia. 100.000 warga negara Amerika Serikat telah tewas akibat COVID-19[3]. Bahkan tidak tanggung-tanggung, surat kabar New York Times pada bulan Mei itu menuliskan nama-nama 100.000 rakyat Amerika Serikat yang dikatakan tewas akibat COVID-19 itu pada halaman depan surat kabarnya[4].
Kami kesebelasan internist, benar-benar kebingungan untuk menahan serangan total football yang cepat dan dahsyat dari kesebelasan epidemiologist. Serangan yang di dukung sekuat tenaga oleh media-media mainstream di AS dan seluruh dunia. Kami ingin bertahan dengan mempelajari patogenesis dari penyakit tersebut. Tapi data-data yang kami dapatkan kebanyakan berasal dari intelektual para dokter Cina. Karena itu kami kesebelasan internist sedunia, belajar Patogenesis COVID-19, yang di ciptakan para dokter Cina itu.
Dan mereka para dokter Cina itu mengajarkan pada kami, bahwa COVID-19 menimbulkan badai sitokin. Sebab reseptor dari virus SARS-COV-2 adalah ACE 2 yang terdapat pada permukaan membran sel dari organ-organ tubuh. Dimana kenyataan menunjukkan ACE 2 terdapat pada permukaan membran sel hampir seluruh organ tubuh. Dengan demikian segala penyakit bisa di sebabkan oleh COVID-19 (the thousand facies disiases)[5-6]Penelitian mereka yang menunjukan ditemukannya virus SARS-COV-2 pada feses, cairan otak, dan paru-paru serta ditemukannya gangguan hemostasis yang dikatakan akibat COVID-19, seperti : DIC, fibrinogen yang meningkat, ferritin yang meningkat, dsb semuanya menambah keyakinan kami akan kebenaran teori badai sitokin dari dokter-dokter Cina itu.
WHO pun (maha guru yang tidak pernah salah itu) membenarkan patogenesis dari dokter-dokter Cina itu. Pendapat maha guru (WHO) itu pun di ikuti oleh seluruh dokter sedunia baik klinisi dan non klinisi. termasuk juga dokter yang mempunyai spesialisasi epidemiologi.
Kami kesebelasan internist sebenarnya menginginkan suatu diskusi kritis dengan pendapat maha guru itu. Tetapi prof. Antony Fauci. sebagai guru besar FK Harvard ( rangking 1 FK kedokteran sedunia) menyetujui pendapat maha guru WHO itu. Dengan demikian sulit bagi guru-guru besar di atas dunia ini, untuk bertentangan dengan Antony Fauci. Terlebih lagi beliau adalah editor dari text book, pegangan internist sedunia “Harrison Principle Of Internal Medicine”.
Dengan tunduknya kapten kesebelasan internist sedunia, yang dipegang oleh Antony Fauci, dalam masalah patogenesis, maka brain skill yang ada pada kesebelasan internist sedunia dalam masalah COVID-19 selalu di dasarkan atas patogenesis dan patofisiologi teori badai sitokin. Dalam keadaan seperti itu maka goal demi goal dalam gawang kesebelasan internis akan mudah terjadi.
Dengan dasar teori badai sitokin, kami kesebelasan internist terpaksa diam saja atau menyetujui angka kesakitan dan angka kematian yang dikatakan oleh kesebelasan epidemiologist (goal pertama). Kami setuju, bahwa mutasi virus dari SARS-COV-2 akan menyebabkan masalah COVID-19 akan makin berbahaya (goal kedua). Ketakutan akan terjadinya badai sitokin dan mutasi virus baru, menyebabkan diagnosis epidemiologis seperti ODP, PDP, bahkan OTG menjadi dasar diagnosis kami. Kami mencari-cari adanya gambaran pneumonia atau GGO. Bahkan kami berani mendiagnosis COVID-19 hanya dengan gambaran rontgen seperti itu. Betapapun swab tenggorakn negatif atau belum diperiksa. Spesialis paru menjadi kapten kesebelasan klinisi sejak pandemi COVID-19. Karena spesialis penyakit dalam atau internist tidak menggunakan brain skillnya secara maksimal.
Dan pada akhirnya kami setuju bahwa perhatian utama dalam masalah COVID-19 ini adalah tracing. Betapapun akan terjadi kelambatan dalam penanganan penyakit-penyakit komorbid dari pasien itu (Goal ketiga). Bahkan kami setuju saja dengan pengobatan-pengobatan yang diberikan pada COVID-19 itu. Betapapun pengobatan-pengobatan itu sebenarnya belum tentu di butuhkan oleh pasien. Bahkan mungkin berbahaya.[6] Kewaspadaan akan adanya badai sitokin harus selalu kami jaga. Karena itu kami melakukan pemeriksaan swab tenggorokan pada pasien apapun juga, misalnya kanker, gagal jantung, gangguan ginjal, asma bronkiale, dan sebagainya. Dengan demikian diagnosis COVID-19, perlu kami tambahkan pada pasien-pasien dengan swab tenggorokan positif (Goal ketiga). Betapapun swab tenggorokan yang positif itu belum tentu berarti ada SARS-COV-2 yang hidup pada pasien itu.
Dan demi menghindarkan kematian akibat badai sitokin pada pasien yang terinfeksi COVID-19, maka jumlah orang yang terinfeksi harus di kurangi. Sehinga kami setuju dengan vaksinasi itu. Tanpa perlu penilaian lebih mendalam lagi tentang manfaat vaksinasi tersebut.[7-8]
Dari tulisan diatas, sebagai internist atau bagian dari kesebelasan klinisi, saya mengakui kekalahan 3-0 itu. Dan dari tulisan di atas, penyebab utama kekalahan itu adalah karena tunduknya kesebelasan klinisi terhadap teori badai sitokin COVID-19.
Sebenarnya saya telah mengingatkan pada para pemain kesebelasan klinisi, untuk berhati-hati dengan klaim epidemiologist yang berhubungan dengan banyaknya angka kematian COVID-19.
Semua pasien yang telah melewati life expectancy nya tidak dapat dikatakan kematiannya oleh karena COVID-19(3,6). Kematiannya oleh karena penyakit kronisnya sendiri. Karena itu kematian rakyat AS akibat COVID-19 di bulan Mei 2020 itu bukanlah 104.542 orang. Tetapi hanya 42.194 orang[3]. Sedangkan kematian masyarakat dunia akibat COVID-19 bukanlah 3,23 %. tetapi hanya 1,13 % saja.[6] Atau setingkat flu biasa. Bahkan bisa lebih rendah dari itu, bila teori badai sitokin tidak dijadikan acuan.
Sayangnya himbauan saya pada para pemain kesebelasan klinisi itu untuk berhati-hati pada klaim kesebelasan epidemiologist itu diabaikan. Keyakinan akan teori badai sitokin adalah penyebab diabaikannya himbauan saya tersebut. Tidak ada dokter atau organisasi dokter yang berani membantah pendapat maha guru WHO dalam masalah patogenesis. Tidak ada yang berani mengatakan mungkin saja tidak terjadi badai sitokin. Tetapi yang terjadi adalah badai sicokin.
Dengan tunduknya kapten-kapten kesebelasan internist tingkat dunia, yang dimotori Antony Fauci dkk, keyakinan akan terjadinya badai sitokin pada mainstream internist sedunia beserta kesebelasan klinisinya sangatlah kuat. Betapapun saya telah membuat tulisan untuk berhati-hati dengan adanya klaim badai sitokin yang di katakan para dokter-dokter Cina itu[5]. Bahkan setelah para internist sedunia, banyak meneliti tentang badai sitokin itu dan setuju dengan yang dikatakan para dokter Cina, saya membuat lagi artikel yang lebih kuat yaitu dengan menginvestigasi puluhan jurnal-jurnal internasional, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya patogenesis dari COVID-19 itu[6]
Dari hasil investigasi itu saya mendapatkan bahwa sel target dari virus SARS-COV-2, penyebab COVID-19. tidaklah sama dengan virus SARS-COV-1 penyebab SARS dan MERS-COV penyebab MERS. Sel target dari SARS-COV-2 adalah sel goblet di saluran nafas bagian atas. Sedangkan sel target dari SARS-COV-1 dan MERS-COV berada pada saluran nafas bagian bawah. Yaitu pada sel pneumokist 2, yang berbatasan langsung dengan alveolus[6]. Dengan demikian SARS-COV-2, sulit untuk memberikan kerusakan pada alveolus atau menyebabkan pneumonia. Lain halnya dengan SARS-COV-1 atau MERS-COV. Mutasi virus baru pun tak perlu ditakuti. Sebab sel targetnya tetap pada saluran nafas bagian atas. Kecuali mutasi virus baru itu merubah sel targetnya ke sel sel saluran nafas bagian bawah. Bila hal itu terjadi maka SARS-COV-2 telah berubah menjadi SARS-COV-1 atau MERS-COV. Atau bukan penyakit COVID-19 lagi.
Dari investigasi terhadap jurnal-jurnal internasionalpun, juga didapatkan bahwa sel target dari SARS-CoV-2 bukanlah sel yang mempunyai ACE-2 pada permukaan membrane selnya. Enzim ACE-2 hanyalah mempermudah masuknya virus SARS-CoV-2 ke dalam sel-sel organ kita.
Dengan demikian tidak ada yang perlu ditakutkan bila seseorang terinfeksi COVID-19, secara droplet infection. Bahkan pada orang-orang dengan usia tua sekalipun. Karena penelitian membuktikan bahwa orang-orang dengan HIV positif, dan tidak berobat teratur untuk HIVnya, sanggup bertahan terhadap serangan COVID-19[9] .Didapatkannya SARS-COV-2 pada paru-paru atau di darah atau disaluran cerna dan kelenjar otak, tidak perlu di khawatirkan. Karena jumlahnya sangat kecil dan virus-virus tersebut dengan mudah akan dihancurkan oleh sel-sel Natural Killer kita. Lain halnya bila kita langsung menyuntikan SARS-COV-2 kedalam darah misalnya vaksinasi. Virus mati atau bagian protein dari virus tersebut dapat langsung masuk ke sel-sel organ yang mempunyai ACE-2 pada permukaan membran selnya ( jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, sistem pencernaan, dan pembuluh darah). Dan hal itu dapat memberikan reaksi intrasel yang berbahaya akibat respon imunitas kita. Reaksi berbahaya yang bisa terjadi secara akut atau kronik. Kekebalan yang didapat dari vaksinasi tidak dapat mencegah infeksi atau re-infeksi SARS-CoV-2 pada tenggorokan kita yang terjadi akibat droplet infection. Karena yang berperan disitu adalah imunitas kita yang berasal dari saluran nafas bagian atas (MALT/NALT). Kekebalan akibat vaksinasi, hanya dapat melawan SARS-CoV-2 yang berada dalam darah, jika vaksin yang disuntikkan adalah vaksin yang baik. Sayangnya dari 10 vaksin unggulan WHO, tidak satupun yang saya anggap baik.(8)
Penjabaran lebih lanjut bahwa sel target daripada virus SARS-COV-2 berada di saluran nafas bagian atas, maka kemungkinan timbulnya badai sitokin adalah kecil. Adanya sitokin yang banyak keluar seperti yang dilaporkan oleh para peneliti dokter-dokter Cina itu karena SARS-COV-2 disuntikan langsung dalam tubuh tikus6. Bukan Karena melalui droplet infection. Para peneliti Cina pun tidak dapat menunjukan banyaknya kompleks imun yang tersebar didalam darah dan aktifitas komplemen-komplemen yang meningkat. Padahal tanpa adanya kedua hal tersebut, sulit untuk terjadinya badai sitokin.
Walaupun demikian pneumonia berat akibat COVID-19 dapat saja terjadi pada orang-orang yang sangat uzur, dalam arti imunitasnya lebih rendah dari pasien HIV. Tapi tetap saja sitokin yang keluar, tidaklah banyak. Maksimal hanya sebanyak sitokin yang dikeluarkan oleh SARS-COV-1 (SARS) dan MERS-COV (MERS). Bila sitokin yang dikeluarkan oleh SARS-COV-1 dan MERS-COV tidak dikatakan adanya badai sitokin (padahal kematiannya lebih banyak), maka adalah suatu keanehan bila maha guru WHO menyetujui pada COVID-19 dikatakan terjadi badai sitokin.
Kesimpulan daripada tulisan ini adalah :
Bila apa yang dituliskan tidak dapat ditolak kebenarannya, dan kesebelasan klinisi memakai itu dalam menghadapi COVID-19, maka kesebelasan klinisi menang 10-0, atas kesebelasan epidemiologist. (Karena ada yang mengatakan tingkat tertinggi dari kemenangan sepakbola adalah 10-0 bukan 12-0 atau 20-0).
Kemenangan 10-0 ini karena tingkat keganasan COVID-19 adalah sederajat dengan flu biasa. Tidak ada bukti adanya badai sitokin. Dengan demikian tidak perlu tracing, lockdown, dan vaksinasi. Dan tidak perlu mencari-cari orang yang terinfeksi COVID-19. Klinisi fokus saja pada penyakit yang diderita pasiennya. Tidak ada penyebab kematian atau COD oleh karena COVID 19. Bill Gates tidak akan dapat menutupi sinar matahari itu, seperti yang dia inginkan.
Semoga tulisan ini dapat membangkitkan jati diri klinisi, terutama para internist sedunia.
BANGKITLAH PARA INTERNIST SEDUNIA!!!
Tembusan:
1. WHO
2. Perkumpulan Internist Sedunia (International Society of Internal Medicine)
3. Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association)
4. Ikatan Cendikiawan Muslim Sedunia (International Association of Moslem Scholars)
5. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
6. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
7. Persatuan Ahli Bedah Ortopedi Indonesia (PABOI)
8. Mentri Kesehatan Republik Indonesia
9. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
10. Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Kepustakaan :
1. Epidemiolog Vs Klinisi: Kegagalan Mengatasi Wabah Corona, Dr Yogi Prabowo, SpOT
2. Bicara CoVID-19, Raja Waly
(https://renungan-tmudwal.com/bicara-covid-19/)
3. Kematian 100 Ribu Rakyat AS Dan Horor COVID-19 (Pandemi COVID-19 Telah Selesai), Taufiq Muhibbuddin Waly
4. Peran Dokter Amerika Serikat dalam Kekalahan Trump (Tidak Memilih Trump Adalah Suatu Blunder dari Rakyat Amerika Serikat), Taufiq Muhibbuddin Waly, M.D., Internist
5. Pengaruh Cina Dalam Pathogenesis, Diagnosa, Dan Terapi COVID-19, Taufiq Muhibbuddin Waly
(https://renungan-tmudwal.com/pengaruh-Cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/)
6. CoVID-19: AZAB ALLOOH PADA DUNIA ATAU DUNIA MENGAZAB DIRINYA SENDIRI (Suatu Diskusi Dengan Jurnal-Jurnal Internasional), Taufiq Muhibbuddin Waly
7. dr. Taufiq: Sinovac adalah Vaksin Terlucu dari 10 Vaksin Dagelan WHO!
8. AGAMA COVID-19, VAKSIN DAGELAN DAN VAKSIN HORROR (Lawan Penjajahan COVID-19), Syarif, dr. Tgk. H. Taufiq bin Muhibbuddin bin Muhammad Waly bin Muhammad Salim bin Malin Palito, Sp.PD
(http://dhf-revolutionafankelijkheid.net/?s=Vaksin+dagelan)
9. Cooper T, Woodward B, Alom S, Harky A. Coronavirus Disease 2019 (COVID‐19) Outcomes in HIV/AIDS Patients: A Systematic Review. HIV Med. 2020 July;21:567-577. doi:10.1111/hiv.12911