Artikel 37 – Mari Mendiskusikan Kembali Patogenesis dan Patofisiologi DBD

Mari Mendiskusikan Kembali Patogenesis dan Patofisiologi DBD

(Efek Penyebaran Yang Sangat Cepat Dari Kompleks Imun VS Efek Dari Virus Dengue)

TAUFIQ M WALY

Departemen Penyakit Dalam RS. Waled Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.

B. Pendahuluan dan Epidemiologi

Insiden infeksi dengue berkembang pesat di dunia dalam beberapa dekade terakhir ini. Pertama kali dikenal pada tahun 1950, wabah demam berdarah dengue ditemukan di negara Filipina dan Thailand. Saat ini DBD paling banyak di temukan di negara-negara Asia. 2,5 Miliar orang atau 2/5 dari populasi dunia yang mencakup lebih dari 100 negara di dunia berisiko terjangkit demam berdarah dengue (World Potential Dengue Infected / WPDI) (1,2). WHO saat ini memperkirakan 50 Juta orang (2% WPDI) terjangkit demam berdarah dengue diseluruh dunia setiap tahunnya (World Dengue Infected / WDI) (1). Dan diperkirakan sekitar 500.000 orang yang terjangkit DBD itu mendapatkan perawatan di rumah sakit setiap tahunnya (World DHF Hospitalization/WDHI) (1). Namun data WHO 2009 itu, tidak menyebutkan berapa kematian DBD diseluruh dunia setiap tahunnya. WHO hanya menyebutkan angka kematian bisa di bawah 1% atau lebih dari 20% tergantung dari penanganannya. Bila kita mencoba mencari pada kepustakaan maka didapatkan angka kematian DBD dunia setiap tahunnya adalah berkisar antara 21.000 – 30.000 orang pertahun (2,3,4,5,6,7). Atau dapat dikatakan kurang lebih 0,05% dari infeksi dengue diseluruh dunia (WDI). Bila di bandingkan dengan jumlah pasien DBD yang dirawat di rumah sakit (WDHI) maka angka kematiannya setara dengan 5% dari WDHI.

Masalahnya adalah apakah angka yang dilaporkan WHO itu akurat ataukah tidak. Angka-angka tersebut diprediksi harusnya lebih tinggi lagi. Sebagai contoh, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit atau WDHI yang hanya sebesar 2% dari WDI. Ini berarti puluhan juta orang yang menderita DBD tidak dirawat. Hal tersebut terjadi misalnya karena orang tersebut hanya mengeluh hal-hal yang ringan saja, yang cukup diobati sendiri tanpa harus pergi ke dokter. Atau seorang dokter tidak merawat pasien DBD betapapun telah memenuhi kriteria WHO 1997, tentang DBD, karena menurut dokter tersebut pasien itu hanya mempunyai keluhan yang ringan saja (tidak ada perdarahan yang nyata). Atau pasien tersebut tidak dirawat karena dokter menganggapnya bukan DBD disebabkan trombosit pasien masih diatas 100.000 /mm3 . Diagnosa DBD menjadi hilang pula pada pasien dengan panas kurang dari 7 hari yang berobat ke dokter swasta di daerah endemik dan dokter tersebut tidak melakukan tes toniquet. Sehingga dengan demikian kewaspadaan atau diagnosa DBD menjadi hilang. Padahal seharusnya setiap pasien dengan demam ≤ 7 Hari di daerah hiperendemik harus dilakukan tes toniquet. Atau pasien yang telah jelas DBD dan dianjurkan dirawat oleh dokternya tidak mau dirawat oleh karena kesulitan ekonomi dan sebagainya. Semua yang saya kemukakan itu akan merendahkan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit dan secara otomatis akan menurunkan angka kematian akibat DBD.

Puluhan juta orang yang tidak dirawat itu, mungkin saja akan mengalami kematian diluar rumah sakit. Sedangkan kematian di rumah sakit, bisa saja tidak dianggap disebabkan oleh DBD karena kriteria DBD tahun 1997 tidak bisa di tegakkan. Sistim pelaporan rumah sakit untuk pasien-pasien yang jelas-jelas DBD pun masih belum sempurna. Dengan alasan seperti itu Jacqueline L Deen dkk, meragukan angka demam berdarah yang di laporkan dari rumah sakit (8).

Contoh keraguan tentang keakuratan laporan DBD, misalnya Indonesia. Indonesia pada tahun 2008, melaporkan angka kematian (CFR) 0,73 yang dihitung berdasarkan jumlah penderita DBD 101.656 dan hanya 737 orang yang meninggal. Padahal bila dihitung dengan perkiraan WHO (betapapun perkiraan itu masih di bawah standar seperti yang telah saya kemukakan diatas) maka perkiraan jumlah infeksi dengue Indonesia (IDI) adalah 2% x Indonesia Potential Dengue Infection (IPDI) = 2% x 240.000.000 = 4.800.000 . dari 4,8 juta itu hanya 101.656 orang yang dilaporkan sebagai penderita DBD dan hampir di pastikan laporan tersebut semuanya berasal dari pasien DBD yang dirawat di rumah sakit. Atau secara persentase pasien yang dirawat itu hanya 2,1% dari IDI. Dengan demikian hampir 98% orang yang menderita DBD di Indonesia memiliki nasib yang tidak pasti seperti yang telah di jelaskan diatas. Dengan demikian angka kematian di bawah 1% tidak menggambarkan apa-apa tentang keberhasilan pengobatan dan pencegahan DBD.

Hal-hal seperti ini seharusnya juga di sadari oleh negara-negara hiperendemis dengue lainnya seperti Thailand (CFR=0,2%), Myanmar (CFR=0,7%), Timor-Timur (CFR=0,56%), Filipina (CFR=1,5%), Vietnam (CFR=0,05%), Malaysia (CFR=0,07%) (9,10). Yang paling menarik adalah laporan dari negara Bangladesh. Dimana Bangladesh melaporkan tidak ada seorang pun yang mati dari 1181 pasien yang di diagnose DBD (CFR=0%) (9).

Dengan uraian-uraian diatas, kita melihat bahwa angka kematian dan angka kesakitan pada negara-negara hiperendemis dengue sebenarnya masih sangat tinggi. Karena itu sudah sepantasnya para pakar DBD di negara-negara hiperendemis dengue seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, Kamboja, Filipina, Singapura, India, Pakistan, Sri Langka, Bangladesh mendiskusikan kembali patogenesis dan patofisiologi DBD yang saat ini masih dianggap controversial (1). Negara-negara hiperendemis tersebut diperkirakan menyumbang 70% dari WPDI / 1,8 miliar orang (1).

Pentingnya meninjau kembali patofisiologi dan patogenesis DBD kemungkinan juga akan menyebabkan penurunan dari penderita trombositopenia seumur hidup atau anemia aplastik. Karena penyakit yang paling sering menyebabkan trombositopenia di daerah-daerah hiperendemis dengue adalah DBD. VD Patil dan Dinesh pernah melaporkan terjadinya trombositopenia persisten pada pasien DBD (11). Demikian juga Uth Karsh Kohli dkk (12). Disisi lain TM Waly telah membuktikan adanya antibodi trombosit pada pasien DBD di tahun 1997 (13). Rahman dkk membuktikan lagi kemungkinan adanya antibodi trombosit pada pasien DBD di tahun 2009 (14,15). Sedangkan Alburqueque dkk melaporkan adanya anemia aplastik pada pasien DBD (16).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut pengobatan DBD seharusnya juga mencakup pencegahan pasien dari kemungkinan terjadinya ITP yang persisten atau anemia aplastik yang persisten.

 

B. Patogenesis dan Patofisiologi DBD (Kesimpulan Dari Jurnal-Jurnal Tentang DBD) (17,18,19,20,21,22,23,24,25)

Keberadaan viremia adalah dasar dari terjadinya penyakit DBD. Viremia akan mengakibatkan kerusakan jaringan, badai sitokin, apoptosis, aktifitas komplemen dimana semuanya itu selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan jaringan, perdarahan dan kebocoran plasma. Kemampuan virus itu sendiri (tergantung strain) untuk merusak sel dan penghancuran komplek imun menambah keparahan penyakit. Viremia akan terjadi ketika tubuh tidak berhasil membentuk antibodi spesifik atau antibodi neutralizing. Seseorang dapat menjadi kebal seumur hidup, jika memiliki antibodi spesifik terhadap suatu strain virus dengue. Tetapi antibodi spesifik itu tidak dapat memberikan kekebalan terhadap strain lain dari virus dengue. Replikasi virus dengue terjadi dalam sel targetnya (monosit, makrofage, dan sel Kuffer). Replikasi virus dalam sel targetnya akan terjadi bila antibodi non-neutralizing terbentuk. Infeksi dengue berulang dari strain virus dengue yang berlainan akan lebih memudahkan terjadinya antibodi non-neutralizing. Namun demikian infeksi dengue yang pertama kalipun atau tanpa infeksi berulang dapat juga menyebabkan terjadinya viremia. Hal ini disebabkan adanya antibodi non-neutralizing dari ibunya. Meskipun demikian infeksi Dengue berulang dari tipe yang lain atau infeksi sekunder akan lebih mudah dan menimbulkan gejala yang lebih berat ketimbang infeksi primer. Status nutrisi seorang pasien juga dapat memperburuk penyakit DBD.

Dari kesimpulan di atas, terlihat bahwa dasar untuk terjadinya penyakit DBD dan menjadi beratnya penyakit DBD adalah tergantung dari viremia. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan viremia itu ? Mengapa virus lebih mudah terdeteksi pada pasien pada gejala klinik yang ringan saja seperti demam dan tidak memiliki komplikasi ke organ lain atau mengalami syok (hari ke-0 atau hari pertama demam). Apakah benar bahwa keberhasilan isolasi virus dalam jaringan biopsi pasien yang meninggal akibat DBD menunjukkan bahwa virus tersebut memang mampu untuk merusak jaringan. Mengapa individu atau ras yang berbeda memberikan reaksi yang berbeda pula terhadap satu jenis virus ? Mana yang lebih berpengaruh jenis virus atau frekuensi gigitan nyamuk ? Mengapa orang-orang dengan prediksi kekebalan tubuh yang rendah, seperti orang tua (>60 tahun) atau anak-anak dengan gizi buruk memberikan gejala klinik yang lebih ringan ? Mengapa orang-orang dengan ras tertentu tidak terkena DBD, meskipun tinggal di daerah hiperendemik DBD ? Pengalaman saya selama 13 tahun mengamati DBD dapat dikatakan tidak ada ras cina/arab/eropa yang dirawat di rumah sakit padahal mereka tinggal bersama-sama dengan orang Indonesia yang dirawat karena DBD di daerah itu. Pengalaman saya bekerja pada saat ini atau ketika saya bekerja di Caltex Pacific Indonesia, Riau menunjukkan hal tersebut.

 

C. Diskusi

Secara umum jika virus masuk ke dalam darah, sistim imun spesifik dan non-spesifik akan bereaksi secara otomatis. Reaksi tersebut akan mengeradikasi virus sebelum memasuki sel targetnya. Kegagalan mengeradikasi virus, akan menyebabkan virus menyebar luas di dalam darah (viremia) dan masuk ke sel target untuk bereplikasi. Virus dalam darah akan bertambah banyak lagi bila virus yang telah bereplikasi di sel target itu masuk kembali ke dalam darah. Interferon, sel killer, sel natural-killer dan antibodi merupakan sistim pertahanan tubuh kita untuk menghancurkan virus mencegah virus masuk ke dalam sel target. Adalah menarik bahwa berdasarkan teori yang dianut pada saat ini, untuk virus Dengue ada antibodi yang mampu menetralisir virus (antibodi neutralizing) dan antibodi yang tidak dapat menetralisir virus (antibodi non-neutralizing). Bahkan antibodi non-netralizing ini jika dia terbentuk akan makin memacu virus masuk ke dalam sel targetnya. Di lain pihak antibodi untuk melawan virus atau objek asing tidak terbentuk jika jumlah virus atau allergen terlalu kecil atau telah dihancurkan oleh sistim kekebalan tubuh non-spesifik atau pasien dengan imunitas rendah/gizi buruk.

Secara teori ketika tubuh telah membentuk antibodi maka sudah pasti yang terbentuk adalah antibodi spesifik yang mampu menetralisir virus. Netralisir ini dilakukan dengan mengadakan ikatan dengan virus (terjadinya komplek antigen-antibodi). Komplek antigen-antibodi ini akan memudahkan terjadinya fagositosis oleh sistim makrofag. Penambahan jumlah virus atau paparan berulang dari allergen akan terus merangsang tubuh untuk membentuk antibodi non virus atau allergen. Jadi seharusnya tidak ada istilah antibodi non-neutralizing atau antibodi yang gagal untuk menetralisir. Antibodi yang berada pada tubuh kita adalah IgA, IgG, IgM, IgE, IgD dan immunoglobulin super family yang semuanya berfungsi meningkatkan system pertahanan tubuh kita. Di lain pihak system pertahanan tubuh kita juga dapat berbahaya, jika muncul reaksi yang berlebihan dari antibodi terhadap virus/benda asing (reaksi hipersensitivitas). Reaksi tubuh yang berlebihan ini terhadap komplek imun tidak dapat dikatakan bahwa tubuh tersebut telah salah membentuk antibodi atau terjadi antibodi non-neutralizing. Dengan demikian jelas pada kita bahwa antibodi selalu berusaha untuk mencegah virus dengan membuat suatu komplek imun untuk mempermudah fagositosis oleh makrofag. Bila sistim makrofag invalid maka komplek imun akan menyebar ke seluruh tubuh dan jaringan. Bila sistim makrofag kembali normal maka komplek imun yang banyak ini akan merangsang timbulnya badai sitokin, aktivasi komplemen, apoptosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan plasma leakage dan kerusakan jaringan yang luas.

Adalah menarik, gejala klinik yang berat pada infeksi Dengue baru terjadi bila tipe virus yang menginfeksi berasal dari tipe yang berbeda. Tipe virus yang berbeda ini sebenarnya dikenali oleh antibodi kita (reaksi silang) tapi antibodi tersebut tidak mampu membuat antibodi spesifik yang bisa mengikat virus secara sempurna/imperfect antibodi (26,27,28). Dan adalah menarik pula bahwa infeksi Dengue dari satu macam tipe virus biasanya akan selalu menghasilkan antibodi spesifik/perfect antibodi. Istilah perfect dan imperfect lebih tepat digunakan ketimbang istilah neutralizing dan non-neutralizing. Sebab baik antibodi yang perfect maupun imperfect keduanya berusaha untuk menetralisir dari virus Dengue. Tapi pada imperfect ikatan antara virus dan antibodi adalah lemah. Dan jelas tidak mungkin antibodi yang terbentuk baik perfect dan imperfect akan memacu virus untuk masuk ke dalam sel targetnya.

Sehingga dengan pengertian itu pada orang yang sakit DBD kita dapat menjumpai 2 antibodi yaitu antibodi perfect atau neutralizing antibodi dan antibodi imperfect atau non-neutralizing antibodi. Russel telah membuktikan adanya 2 antibodi tersebut (29). Berdasarkan pernyataan bahwa kebanyakan orang baru terkena penyakit DBD setelah adanya infeksi berulang dari virus Dengue yang berbeda maka dapat dipastikan bahwa non-neutralizing antibodi adalah identik dengan IgG yang imperfect. Sedangkan neutralizing antibody adalah IgG yang perfect (yang dapat terjadi karena infeksi primer atau sekunder dari virus yang sama. Pengertian ini sesuai juga dengan pernyataan Guzman yang mengatakan bahwa pemeriksaan neutralizing antibody adalah identik dengan infeksi primer (25).

Dengan pemahaman seperti ini, kita menolak teori yang mengatakan bahwa sakitnya anak usia <4 bulan disebabkan adanya antibodi non-neutralizing yang diturunkan dari ibunya. Antibodi non-neutralizing hanya bersifat sementara yaitu pada saat sakit saja. Terbentuknya antibodi non-neutralizing atau immunoglobulin imperfect disebabkan karena terlalu sensitifnya individu sehingga sel-sel plasma yang belum membuat antibodi ikut-ikutan membuat antibodi. Sehingga terbentuklah antibodi yang lemah yang menyebabkan ikatan antibodi-antigen menjadi kurang kuat. Adanya sel-sel plasma yang belum matang ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel limfosit plasma biru pada pasien DBD. Karena itu antibodi non-neutralizing atau immunoglobulin imperfect ini akan hilang setelah selesai sakit. Sehingga yang tertinggal adalah antibodi neutralizing. Antibodi neutralizing inilah yang diturunkan kepada anaknya s/d berumur 4 bulan. Dengan demikian teori antibody dependant enhancement yang mengatakan bahwa terjadinya sakit DBD pada bayi <4 bulan dikarenakan adanya antibodi non-neutralizing dari ibu tidak dapat dipertahankan.

Meskipun demikian antibodi neutralizing dapat memicu reaksi DBD pada bayi berumur <4 bulan, bila bayi tersebut terinfeksi oleh virus Dengue yang belum pernah mengenai ibunya. Tapi hal ini jarang terjadi. Bila terjadi hanya memberikan gejala klinik yang ringan saja. Tidak terjadinya reaksi hebat pada bayi <4 bulan karena immunoglobulin pada bayi yang hidup pada daerah hiperendemis biasanya telah mengandung antibodi neutralizing dari bermacam-macam virus Dengue lainnya. Sehingga itulah sebabnya reaksi yang terjadi pada bayi <4 bulan biasanya tidak berat atau kejadian DBD pada bayi <4 bulan di daerah endemis sangat jarang. IgM pada bayi baru akan dibuat setelah berumur >4 bulan dan IgG setelah umur > 6 bulan. Kesimpulan dari itu semua adalah pada bayi yang berumur 4 bulan atau > 4bulan yang terkena DBD tetap dasar terjadinya penyakit pada bayi tersebut adalah Hipersensitivitas tipe III seperti yang telah diterangkan di depan. Teori antibody dependant enhancement pun dapat ditolak karena seseorang yang ibunya belum pernah terkena DBD (misalnya orang-orang kulit putih yang tinggal di daerah hiperendemis Dengue di Asia Tenggara). Ternyata anaknya tetap bisa terkena infeksi Dengue. Apakah teori hipersensitivitas tipe III dapat menerangkan hal tersebut ? masalah lain lagi adalah bila Hipersensitivitas tipe III sebagai dasar patogenesis dan patofisiologi dari DBD, mengapa jarang sekali orang dirawat di rumah sakit untuk yang ke 2, ke 3 atau ke 4 ?

Hipersensitifitas tipe III dapat menyebabkan sakit DBD bila terkena infeksi primer kalau antigen atau virus yang masuk sangat banyak jumlahnya atau bersifat super antigen. Biasanya infeksi primer hanya menimbulkan gejala klinik yang ringan saja ketimbang infeksi sekunder. Hal itu dikarenakan sebagian besar immunoglobulin kita adalah IgG (75% dari total immunoglobulin). Selain perubahan sifat antigen atau mutasi antigen, perubahan genetik dari seseorang pun dapat menyebabkan dia menjadi sakit DBD akibat infeksi primer virus dengue.

Jarangnya seseorang dirawat DBD untuk yang kedua, ketiga, atau keempat kalinya oleh karena sistim antibodi kita telah lebih sempurna untuk mengadakan reaksi terhadap antigen virus dengue yang masuk ke tubuh. Misalnya sesorang yang terinfeksi virus dengue tipe 3 baru akan menjadi sakit bila terkena infeksi virus dengue tipe lain misalnya tipe 4. Setelah terkena virus dengue tipe 4 ini (misalnya pasien dirawat) maka infeksi dari virus dengue tipe lainnya yaitu 1 dan 2 biasanya akan memberikan gejala klinik yang ringan saja atau pasien tidak dirawat. Ini disebabkan sebagian besar epitop virus dengue tipe 1 dan 2 itu telah dikenal oleh sistim antibodi kita atau reaksi antibodi kita telah lebih sempurna, ketimbang pada saat terinfeksi virus dengue 4. Dengan keterangan diatas, jelas bagi kita bahwa antibodi non neutralizing bisa IgG atau IgM. Tapi ini hanya bersifat sementara saja atau selama serangan sakit DBD atau beberapa hari setelah sembuh. Sedangkan neutralizing antibodi bisa IgG dan IgM walaupun pada akhirnya hanya tinggal IgG dan ini bersifat permanen.

Kerusakan jaringan tubuh yang luas akibat DBD misalnya kerusakan endotel, hati, ginjal, sumsum tulang, pancreas, mata, jantung, jaringan saraf, trombosit, otak dsb. Telah pernah di laporkan (33,34). Bila teori hipersensitivitas tipe III diakui maka kerusakan jaringan-jaringan tersebut dapat terjadi dengan cepat.

Adanya kompleks imun yang tersebar pada banyak jaringan tubuh itulah yang menyebabkan terjadinya badai sitokin, apoptosis, plasma leakage yang kesemuanya menyebabkan rusaknya jaringan dan syok pada pasien DBD. Adanya kompleks imun yang tersebar pada banyak jaringan tubuh telah dilaporkan oleh Ruangjirachuporn (22). Dia mengatakan bahwa 80% dari 80 anak-anak yang menderita DBD di dapatkan kompleks imun pada banyak jaringan tubuhnya. Sedangkan dari 20%, yang tidak terdeteksi kompleks imunnya bisa di artikan kemungkinan besar pasien itu terkena infeksi primer dan mereka datang sebelum hari ke-5 (IgM belum terbentuk).

Mengapa bukan viremia yang menyebabkan badai sitokin?

Virus dengue meskipun dalam jumlah besar, bila tidak diikat oleh antibodi (tidak membentuk antigen antibodi kompleks) hanya merangsang aktivasi komplemen yang lemah (jalur lectin/jalur alternate). Akibatnya stimulasi terhadap pengeluaran sitokin tidaklah kuat. Aktivasi komplemen melalui jalur lectin atau jalur alternate tidak melalui C1, C2 dan C4 (30-31). Seperti kita ketahui aktivasi C1 akan merangsang peningkatan permeabilitas kapiler. C2 akan merangsang aktivasi kinin, dan C4 akan merangsang pelepasan opsonin (32). Akibat hal-hal tersebut sel-sel tentara kita (monosit, makrofag, sel granular, sel endotel) tidak dapat menghancurkan virus dengan baik, atau sitokin yang dikeluarkan sedikit atau tidak terjadi badai sitokin.

Begitu juga dengan virus dengue yang berada di dalam sel. Virus intrasel ini hanya dapat dihancurkan oleh limposit sitotoksik dengan mekanisme ADCC. Tetapi sitokin yang dikeluarkan tetap sedikit oleh karena aktivasi komplemen tidak melalui C1,C2 dan C4

Bagaimana dengan keganasan virus? Kerusakan jaringan bukan oleh karena adanya aktivasi komplemen atau keluarnya badai sitokin, tapi karena kemampuan virus itu sendiri untuk merusak jaringan, trombosit, atau kemampuan virus itu sendiri untuk memprogram terjadinya apoptosis pada sel.

Dengan dasar ini timbullah teori bahwa virus dengue yang ganas untuk Indonesia adalah virus dengue tipe 3, Thailand tipe 2, Meksiko, Puerto Rico, dan El Salvador adalah tipe 4 (3). Yang menarik adalah sering kita temui bahwa pasien-pasien dengan perkiraan imunitas rendah seperti usia tua (>60 tahun) mal nutrisi dan terinfeksi oleh virus dengue yang dianggap ganas, gejala klinik yang terjadi justru ringan. Infeksi primer atau 1x gigitan akan memberikan gejala klinik yang lebih ringan ketimbang infeksi sekunder atau gigitan nyamuk yang berulang betapapun pada infeksi primer virusnya lebih ganas ketimbang virus pad infeksi sekunder. Orang-orang dari ras tertentu tidak terkena penyakit DBD walaupun tinggal di daerah hiperendemis dari virus dengue yang ganas. Bahkan pada saat KLB sekalipun.

Dengan dasar itu kita tidak dapat menyatakan bahwa ditemukannya virus pada diopsi jaringan orang yang meninggal karena DBD menunjukkan bahwa virus itulah yang membuat kerusakan. Karena selain hal-hal diatas, kita juga telah membahas bahwa viremia tanpa berikatan dengan antibodi hanya memberikan gejala klinik yang ringan saja. Di lain pihak kompleks imun yang tersebar pada jaringan-jaringan tubuh telah pula di laporkan (22). Berarti kemungkinan besar penghancuran terhadap kompleks imun itulah sebagai dasar kehancuran jaringan (bukan oleh karena keganasan virus itu sendiri). Dengan alasan ini jelas bagi kita bahwa virus tanpa berikatan dengan antibodi tidak akan menghasilkan badai sitokin atau hanya memberikan gejala klinik yang ringan saja. Karena itu pada hari nol atau hari pertama dari infeksi dengue sekunder atau sebelum hari kelima dari infeksi primer adalah saat yang yang paling tepat untuk mengatakan adanya fase viremia.

Tapi justru di fase viremia itulah gejala klinik yang terjadi justru ringan. Yang jelas pada saat viremia inilah waktu yang paling tepat untuk melakukan pemeriksaan isolasi virus. Dan pada saat viremia lah pemeriksaan NS1 antigen akan memberikan hasil maksimal. Pemeriksaan NS1 antigen akan memberikan hasil 100% pada hari ke nol baik pada infeksi primer maupun sekunder (4). Pemerikasaan NS1 antigen pada infeksi sekunder secara umum hanya memberikan hasil positif 68,8% (6). Penurunan signifikan ini, karena kebanyakan pasien datang ke dokter setelah 1 hari sakit. Karena itu logis bila infeksi primer memberikan hasil lebih baik yaitu 97,4% (6). Sumarmo pun mendapatkan hasil, bahwa isolasi virus akan lebih berhasil bila di lakukan sebelum hari ke-3 sakit (35).

Kesimpulan dari diskusi diatas adalah gejala klinik yang berat bukan terjadi pada saat viremia. Gejala klinik yang berat terjadi setelah immunoglobulin terbentuk untuk kemudian berikatan dengan virus untuk membentuk kompleks imun (berarti jumlah virus bebas atau viremia berkurang). Keparahan penyakit akan terjadi setelah komplek imun itu dihancurkan oleh sistim makrofag yang telah kembali sehat.

Dengan alasan ini pula kita dapat mengatakan kenapa infeksi primer memberikan gejala klinik yang lebih ringan ketimbang infeksi sekunder. Halstead menemukan tidak ada anak Thailand yang terkena DBD jatuh kedalam syok akibat infeksi primer (17).

Keyakinan bahwa teori hipersesitivitas tipe III sebagai dasar patogenesis dan patofisiologi DBD bertambah kuat dengan ditemukannya reaksi auto imun terhadap trombosit (antibodi trombosit positif). Ini dimungkinkan karena pada manusia selalu ada limposit auto reaktif yang bisa menyebabkan terjadinya reaksi auto imun (30,31). Tidak terjadinya reaksi auto imun pada manusia disebabkan adanya mekanisme auto regulasi dari manusia. Imun kompleks yang menempel pada trombosit atau jaringan merupakan suatu rangsang yang kuat terhadap limposit auto reaktif untuk membuat reaksi auto imun. Jatuhnya jumlah trombosit secara tajam dengan tiba-tiba dan kemudian dengan cepat naik tinggi lagi secara tiba-tiba, kemungkinan disebabkan oleh adanya antibodi trombosit yang positif. Antibodi trombosit yang terjadi secara tiba-tiba, secara cepat akan menurunkan jumlah trombosit. Tapi mekanisme homeostasis imunoregulator dengan cepat meng-counter itu, sehingga antibodi trombosit menjadi negatif kembali dan trombosit naik tinggi lagi secara tiba-tiba.

Tidak naiknya jumlah trombosit pada pemberian tranfusi trombosit pasien DBD terutama juga disebabkan adanya antibodi trombosit tersebut. Sebab pada keadaan trombositopenia, sumsum tulang sebenarnya mampu membuat trombosit sampai dengan 240.000 mm3 setiap hari. Yang ditakuti ialah apabila antibodi trombosit ini gagal di counter oleh mekanisme homeostasis imunoregulator (terjadinya trombositopenia seumur hidup/ITP).

Bila memang hipersensitivitas tipe III diyakini sebagai patogenesis dan patofisiologi DBD, kenapa pemberian steroid tidak memberikan hasil yang signifikan atau gagal? Kenapa saat ini orang-orang atau daerah yang tidak sensitif berdasar teori hipersensitivitas tipe III dapat juga terkena DBD?

Kegagalan pemberian steroid dikarenakan pemberiannya dilakukan setelah 4 hari sakit atau memberikan steroid dengan kekuatan lemah (hidrokortison) dan tidak dengan dosis yang besar (dosis imunosupresif). Pemberian steroid pada keadaan syok dan dari golongan hidrokortison tidak memberikan efek apa-apa (36,37,38,39). Pada DSS resusitasi cairan adalah yang paling utama ketimbang pemberian steroid. Dilain pihak Futrakul dkk mendapatkan hasil yang baik dengan memberikan Metilprednisolon 30mg/10kg berat badan / hari dengan 2 x pemberian (40). Waly dkk (1997) serta Hendarsih dkk mendapatkan hasil bahwa pemberian metilprednisolon dosis imunosupresif setelah hari ke-4 tidak memberikan hasil yang baik. Tetapi bila diberikan sebelum hari ke-5 memberikan hasil yang baik.

Kortikosteroid baru diberikan pada pasien DBD fase penyembuhan (>4hari) bila antibodi trombosit dibuktikan positif atau adanya penurunan tajam dari jumlah trombosit. Berhasilnya pemberian steroid sebelum 5 hari menunjukkan bahwa bukan virus lah sebagai penyebab terjadinya kerusakan jaringan pada pasien DBD. Hal ini juga membuktikan bahwa penyebaran dan penghancuran kompleks imun yang dapat menyebabkan terjadinya gejala klinis yang berat pada pasien DBD dapat dicegah.

  1. Mudwal menyarankan memberikan metilprednisolon ≥1,5 mg /kg / hari sebagai dosis imunosupresif (42). Ketakutan terhadap efek samping kortikosteroid tidak bisa menjadi alasan untuk menolak teori hipersensitivitas tipe III sebagai dasar patogenesis dan patofisiologi DBD. Berdasarkan kepustakaan pemberian kortikosteroid dosis besar adalah aman selama tidak ada perdarahan gastrointestinal (43). Walaupun demikian inhibitor pompa asam dan anti emesis dapat di pertimbangkan dalam pemberian dosis tinggi kortikosteroid.

Sedangkan terjadinya penyebaran DBD ke seluruh dunia atau mulai terinfeksinya ras tertentu yang tadinya tidak sensitif, selain karena penyebaran nyamuk Aedes Aegypti, penyebaran orang dari daerah hiperendemik ke bagian lain dari dunia yang tidak endemik juga disebabkan oleh perubahan genetik virus dengue atau perbahan genetik individu sehingga lebih memudahkan terjadinya penyakit DBD.

D. Skema Patogenesis DBD, Patogenesis Trombositopenia dan Patogenesis Plasma Leakage/Syok

Skema Patogenesis DBD

Skema Patogenesis DBD

PATOGENESIS PLASMA LEAKAGE

PATOGENESIS PLASMA LEAKAGE

PATOGENESIS TROMBOSITOPENIA

PATOGENESIS TROMBOSITOPENIA

 

E. KESIMPULAN

Telah di diskusikan bahwa penyebaran kompleks imun yang cepat ke seluruh tubuh atau jaringan dan hancurnya kompleks imun itu mempunyai peran yang lebih besar untuk dijadikan dasar patofisiologi dan patogenesis DBD ketimbang viremia atau keganasan virus. Bila ini di akui berarti hipersensitivitas tipe III lah sebagai dasar patogenesis dan patofisiologi DBD. Diharapkan segala sesuatu yang belum jelas akan menjadi jelas setelah membaca tulisan ini. Dengan demikian tidak ada lagi diantara kita yang mengatakan bahwa DBD adalah penyakit kutukan Tuhan atau penyakit setan.

Pemberantasan vector nyamuk aedes aegypti dan kewaspadaan pada pasien DBD harus di tingkatkan. Adalah sangat penting untuk mengambil keputusan seawal mungkin apakah akan diberikan kortikosteroid dosis immunosupresif ataukah tidak. Dengan demikian diharapkan angka kematian dari DBD, baik yang dirawat ataupun tidak begitu juga dengan lamanya di rawat dirumah sakit akan berkurang. Diharapkan pula kasus-kasus adanya trombositopenia yang berkepanjangan atau anemia aplastik dapat di tekan.

 

DAFTAR PUSTAKA :

  1. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. A joint publication of the WHO and the special programme for research and training in tropical disease, 2009
  2. bone crushing dengue fever much greater threat than swine flu. articles.mercola.com
  3. Dengue hemorrhagic fever : Diagnosis, treatment, prevention and control. Second addition, Geneva : WHO, 1997.
  4. Dussart P, Labeau B, Lagathu G, Louis P, Nunes M R T, Rodrigues S G, Storck-Hermann C, Cesaire R, Morvan J, Flamand M, and Baril L. Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of dengue virus NS1 antigen in human serum. Clinical and vaccine immunology, November 2006 ; 1185-1189.
  5. Shu P Y and Huang J H. Current advances in dengue diagnosis. Clinical and diagnostic laboratory immunology July 2004 ; 642-650.
  6. V Kumarasamy, K Chua S, Z Hassan, A Wahab A H, K Chem Y, M Mohamad, B Chua K. Evaluating the sensitivity of a commercial dengue NS1 antigen-capture ELISA for early diagnosis of acute dengue virus infection. Singapore Med J 2007 ; 48(7) : 669-673.
  7. McGuire P. The devil disease : Dengue fever. The magazine of the John Hopkins Bloomberg school of public health. Spring 2010.
  8. Deen J L, Harris E, Wills B, Balmaseda A, Hammond S N, Rocha C, Dung N M, Hung N T, Hien T T, Farrar J J. The WHO dengue classification and case definitions : Time for a reassessment. Lancet 2006 ; 368 : 170-173.
  9. Dengue status in south east asia region : An epidemiological perspective. WHO, 2008.
  10. Dengue fever. Wikipedia.com the free encyclopedia
  11. Dinesh N, Patil V D. Persistent thrombocytopenia after dengue hemorrhagic fever. Indian J pediatr, vol 43,November 17, 2006 : 1008-1009.
  12. Kohli U, Saharan S, Lodha R and Kabra S K. Persistent thrombocytopenia following dengue shock syndrome. Indian J pediatr, vol 75, Januari, 2008 : 82-83.
  13. Waly T M,Tambunan K L , Nelwan R H H, Herdiman T P,Hendarwanto, Muljono. The role of platelet antibody and bone marrow in adult dengue hemorrhagic fever with thrombocytopenia. Med J Indones 1998 ; 7 : 242-8.
  14. Rahman A, Djoerban Z, Harahap A, Snatoso S. Presence of anti platelet GP IIB-IIIA investigation in dengue infected patients sera. Hematologica 2008 : 93(s1) : 551 Abs. 1455.
  15. Rahman A. Identification of one of the thrombocytopenia mechanism in dengue virus infection Presence of anti platelet GP IIB-IIIA investigation in dengue infected patients sera (thesis). Indonesia University, Jakarta, 2009.
  16. Albuquerque P, Silva Yunior G, Diogenes S, Silva H. Dengue and aplastic anemia. A rare association. Travel medicine and infectious disease vol 7, issue 2, 2009: 118-120.
  17. S B Halstead Dengue Hemorrhagic fever : Two infection and antibody dependent enhancement, a brief history and personal memoir. Rev Cubana Med Trop ,vol 54 n.3 Ciudad de la Habana sep.-dic. 2002
  18. Mc bride W J H, Bielefeldt-Ohmann H. Dengue Viral infections ; patogenesis and epidemiology. Microbes Infect 2000;2:1041-50
  19. Lei H Y, Yeh T M, Liu H S, Lin Y S, Chen S H, Liu C C. Immunopatogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci 2001;8:377-88.
  20. Rothman A L. Dengue : Defining protective versus pathology immunity. J Clin Investigation. 2004;113(7):946-50.
  21. Gubler D J. Dengue and dengue hemorrhagic fever clinical microbiologi review, July 1998 : 480-496
  22. Ruangjirachuporn W, Boonpucknavig S, and Nimmanitya S. Circulating immune complexes in serum from patients with dengue hemorrhagic fever. Clin. Exp. Immunol. 1979;36:46-53.
  23. Bokish V A, H.Top F Jr, Russel P K Dixon F J, Muller H J. The potential pathogenic role of complement in dengue hemorrhagic shock syndrome. N.Engl J Med 1973 ; 289 : 996-1000
  24. Noisakran S, Perng G C. Alternate hypothesis on the patogenesis of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue hemorrhagic syndrome (DSS) in dengue virus infection. Exp Biol Med. 208:233:401-8.
  25. Guzman M G, Halstead S B, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler J D, Hunsperger E, Kroeger A, S Harold, Margolis, Martinez E, Nathan M B, Pelegrino J L, Simmons C, Yoksan S & Peeling R W. Dengue : A continouing global threat. Nature Reviews Microbiology, S7-S16
  26. Howarth MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 3rd 1994. p.763-90
  27. Khana M, Chaturvedi UC, Sharma MC, Pandey VC, Mathur A. Increased Capillary Permeability Mediated by a Dengue Virus Induced Limphokine. Immunology Mart, 1990;69(33): 449-53.
  28. Koraka P, Suharti C, Setiati TE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, Juffrie M Sutarjo J, Van Der Meer GM, Groen J, Osterhaus AD. Kinetic of Dengue Virus-Spesific Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbiol. 2001;39:4332-8.
  29. Russel PK. Specifity and biological activity of monoclonal anti-dengue antibodies. Proceeding ICMR Seminar. Kobe 1980;81-93.
  30. Roitt I. Essential Immunology. Ninth edition 1997.
  31. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Basic Immunology. Eighth edition 2009.
  32. Baratawidjaja KG. Basic Immunology. Third edition 1996.
  33. Gulati S, Maheswari A. Atypical Manifestation of Dengue. Tropical Medicine and International Health. Vol.12, no 9, 2007:p.1087-1095.
  34. Teoh SCB, Chan DPL, Laude A, Chee CKL, Lim TH, Goh KY, (the eye institue dengue related ophtalmic complications workgroup). Dengue Chorioretinitis and Dengue –Related Ophthalmic Complications. Dengue Bulletin 2006;30. p.184-190
  35. DHF on Children. 2nded. 1988.
  36. R Panpanich, P Sornchai, K Kanjanaratanakorn. Corticosteroids for Treating Dengue Shock Syndrome (review).Cochrane Collaboration 2010;issue2.
  37. Tassniyom S, Vasanawathana S, Chirawathul A, Rojanasuphot S. Failure of High-Dose Methylprednisolon in established dengue shock syndrome: A placebo-controlled, double-blind study. Pediatrics 1993;92(1):111-5.
  38. The role of steroid in dengue shock syndrome. South East Asian J Trop Med Pub Hlth 1987;18:383-9.
  39. Myo Min, Tin U, Myo Aye, Than Nu Shwe, Than Swe, Ba Aye. Hydrocortisone in the management of dengue shock syndrome. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1975;6:573-9.
  40. Futrakul P, Poshyachinda M, Mitakul C, Kwakpetoon S, Unchumchoke P, Teranaparin C, et al. Hemodinamic response to high dose methylprednisolone and mannitol in severe dengue-shock patients unresponsive to fluid replacement. South east Asian J Trop Med Pub Hlth 1987;18:373-9.
  41. Hendarsih E. The role of methylprednisolone on platelet amount in DHF patient (thesis). PadjadjaranUniversity, Bandung, 2004.
  42. Mudwal. Current chalenges in management of DHF. www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
  43. Boumpas DT, Chrousos GP, Wilder RL, Cupps TR, Balow JE. Glucocorticoid therapy for immune-mediated diseases. Basic and clinical correlates. Ann Intern Med 1993;119:1198-1208.

Filed under Artikel 37 - Mari Mendiskusikan Kembali Patogenesis dan Patofisiologi DBD : Comments (0) : Mar 16th, 2015