Intermezzo – Selamatkan Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Medis Indonesia

SELAMATKAN FASILITAS KESEHATAN DAN TENAGA MEDIS INDONESIA

(Tinjauan Terhadap Masalah Vaksin dan Vaksinasi di Indonesia)

T. MUDWAL

Telah tertanam pada mayoritas masyarakat Indonesia bahwa kesehatan balita adalah berjalan lurus dengan imunisasi atau vaksinasi. Karena itu isu adanya vaksinasi palsu dalam satu bulan belakangan ini, benar-benar menggegerkan Indonesia. Tidak kurang dari bapak Presiden RI, memerintahkan untuk mengusut tuntas masalah vaksin palsu ini dan menginstruksikan memberikan hukuman seberat-beratnya pada para pelakunya. Dalam suatu survey kecil-kecilan, dari 8 orang calon dokter (co ass), seluruhnya setuju, yang tersangkut vaksin palsu, dihukum seberat-beratnya. Dan dari 8 orang dokter umum, 5 orang setuju dengan hukuman seberat-beratnya. Bahkan ada internist, yang tidak setuju hukuman seberat-beratnya di lakukan dengan tembak mati. Dia menginginkan hukum picis atau sayat sampai mati. Karena itu adalah logis bila terjadi kepanikan masyarakat setelah berita vaksin palsu ini disebarluaskan. Beberapa rumah sakit yang diberitakan memakai vaksin palsu diserang dan sebagian dokter yang berada di rumah sakit tersebut mengalami penganiayaan.

                Apakah vaksinasi di Indonesia berjalan lurus dengan harapan akan makin sehatnya seorang balita? Bila seorang balita sehat maka diharapkan dia akan berkembang menjadi manusia dewasa Indonesia yang sehat. Indikator utama sehatnya seorang balita adalah menurunnya angka kematian balita di negara tersebut. Berdasarkan laporan UNICEF tahun 2015, Indonesia termasuk negara yang sangat berhasil menurunkan angka kematian balita yaitu dari 84 kematian per 1000 kelahiran hidup menjadi 27 kematian per 1000 kelahiran hidup. Dengan hebatnya kampanye tentang perlunya vaksinasi pada balita, maka mayoritas rakyat Indonesia termasuk pada dokternya meyakini bahwa turunnya angka kematian tersebut karena berhasilnya vaksinasi atau imunisasi. Sebab cakupan imunisasi lengkap sejak tahun 2013 telah mencapai 90%. Pada tahun 1974 hanya 5% saja. Karena itu orang-orang yang berkecimpung dalam masalah vaksinasi ini mengusulkan vaksinasi tambahan seperti vaksinasi Typhoid, DBD, Hepatitis A, Rotary Virus (penyebab diare) demi lebih menurunnya angka kematian balita. Pada saat ini vaksinasi lengkap yang telah dilakukan adalah vaksinasi campak, polio, BCG, DPT, Hepatitis B dan vaksinasi Influenza.

                Pertanyaannya adalah apakah angka UNICEF tersebut dapat dipercaya? Tersebar isu bahwa kematian balita oleh karena DBD, tidak dilaporkan oleh rumah sakit. Dan kematian itu cukup besar yaitu 1-2 balita perbulan. Angka kematian balita oleh karena gizi buruk pun seperti marasmus dan kwashiokor kabarnya juga tidak dilaporkan. Angka kematian yang menurun yang dilaporkan UNICEF, dipastikan angka kematian balita yang dirawat dirumah sakit. Sedangkan angka kematian balita yang diluar rumah sakit (yang dipastikan lebih besar dari angka kematian di rumah sakit), tidak diketahui. Seperti misalnya, kematian pasien DBD di Indonesia. Indonesia tahun 2012, melaporkan angka kematian DBD hanya 408 orang dari 45.964 pasien DBD (0,86%). Padahal berdasarkan perkiraan WHO, 2% dari populasi, pada daerah hiperendemis dengue seperti Indonesia, diperkirakan terkena DBD setiap tahunnya. Maka perkiraan banyaknya orang yang terinfeksi DBD di Indonesia adalah 2% x 240.000.000 orang = 4,8 juta orang. Berarti sekitar 4.750.000 orang yang terkena DBD (99,14%), tidak diketahui nasibnya. Atau angka kematian 0,86% itu, sebenarnya tidak berarti apa-apa.

                Begitu juga dengan pujian UNICEF pada Indonesia sebenarnya tidak berarti apa-apa. Karena kematian balita diluar rumah sakit dan tidak tercatat itu, diyakini jauh lebih besar.

                Walaupun demikian kita tetap bersyukur atas angka kematian yang menurun dan dipuji UNICEF itu. Betapapun itu hanya angka kematian balita di rumah sakit. Masalahnya adalah apakah angka kematian yang menurun itu oleh karena keberhasilan vaksinasi?

                Seperti dituliskan diatas cakupan imunisasi pada balita Indonesia telah mencapai 90% pada tahun 2013. Dimana vaksinasi yang diberikan saat ini adalah untuk penyakit campak, polio, tetanus, dipteri, pertusis, TBC, hepatitis B dan influenza. Indonesia telah dinyatakan bebas dari penyakit cacar tahun 1974. Imunisasi Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1956. Sejak 1990 terjadi penurunan dari penyakit-penyakit polio, campak, tetanus, dipteri dan pertusis. Tetapi penyakit TBC dan hepatitis B bukannya menurun bahkan meningkat. Padahal imunisasi BCG untuk penyakit TBC telah dilakukan sejak tahun 1956. Sedangkan imunisasi hepatitis B, sudah dilakukan sejak 1980. Indonesia adalah penderita TBC terbanyak ke-3 sedunia. Dimana penderita TBC pertahun selalu naik, dan terakhir menurut WHO (2015) adalah 1 juta kasus baru pertahun atau dengan kata lain tidak terlihat efek dari vaksinasi BCG yang telah dilakukan sejak tahun 1956 itu. Begitu juga dengan vaksinasi hepatitis B. Riset kesehatan dasar Depkes RI tahun 2013, melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi hepatitis B pada seluruh kelompok umur, bila dibandingkan prevalensi hepatitis B pada seluruh kelompok umur pada tahun 2007. Padahal negara-negara lain melaporkan terjadinya penurunan prevalensi hepatitis B sejak vaksinasi hepatitis B dilakukan secara nasional di negara tersebut. Amerika Serikat misalnya melaporkan menurunnya prevalensi hepatitis B. Mereka melakukan vaksinasi hepatitis B sejak tahun 1982 dan melaporkan penurunan prevalensi hepatitis B sampai dengan 75%, pada setiap kelompok umur. Begitu juga dengan negara-negara lainnya. Bahkan negara setingkat Gambia, berani mengklaim kesuksesan vaksinasi hepatitis B, dengan melaporkan bahwa masyarakat Gambia yang mengidap Hbs Ag positif telah menurun dari 10% menjadi 0.6%.

                Dengan alasan-alasan diatas, sangat sulit  bagi kita untuk mengatakan  vaksinasi lah sebagai penyebab turunnya angka kematian balita (baca: kematian balita di rumah sakit), sampai dengan 68% itu oleh karena keberhasilan vaksinasi. Sebab vaksinasi yang diakui berhasil hanyalah untuk cacar, campak, dipteri, pertusis dan tetanus. Sedangkan polio tidak berhubungan dengan angka kematian balita. Bila kita telusuri tentang angka kematian bayi, maka  80% kematian  bayi sebelum berumur 1 tahun, bukanlah disebabkan oleh karena belum di vaksinasi. Tetapi penyebabnya adalah kelahiran prematur, adanya komplikasi selama kelahiran dan infeksi berat. Semua vaksinasi lengkap harus telah dilakukan sebelum  berumur 1 tahun. Tapi vaksinasi itu tidak mungkin mencegah terjadinya infeksi berat pada bayi berumur kurang dari 1 tahun. Apalagi untuk mencegah prematuritas dan komplikasi kelahiran lainnya. Faktor utama untuk mencegah terjadinya prematuritas, komplikasi kelahiran dan infeksi berat pada bayi berumur kurang dari 1 tahun, tidak dapat dipungkiri yang terutama adalah gizi buruk, baik pada ibu, maupun pada anaknya. Gizi buruk tersebut mempermudah untuk terjadinya prematuritas, komplikasi selama kelahiran dan infeksi berat pada balita. Kalau gizi anak dan ibu secara nasional termasuk gizi buruk dan vaksinasi belum berefek pada umur bayi kurang dari 1 tahun maka turunnya angka kematian bayi  berumur kurang dari 1 tahun disebabkan membaiknya fasilitas kesehatan dengan para tenaga medisnya. Para tenaga medis yang aktif dan terampil itulah yang akan meningkatkan pengetahuan para ibu dalam masalah kesehatan. Jadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun bukanlan vaksinasi penyebab utama turunnya angka kematian.

                Bagaimanakah gizi balita Indonesia? Kesepakatan internasional, tubuh kerdil/pendek/stunting dan kurus adalah indicator gizi buruk pada balita. Menurut Milenium Challenge Account (MCA), lebih sepertiga balita Indonesia atau 8,9 juta, bertubuh kerdil. Dan itu disebabkan kekurangan gizi secara kronis yaitu sejak fase janin. Riset kesehatan dasar (Riskeda) Depkes RI tahun 2013 juga mendukung hal tersebut. 37,2% balita Indonesia, bertubuh kerdil dan angka ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang hanya mencapai 35,6%. Sedangkan UNICEF tahun 2015 melaporkan 12% balita Indonesia berbadan kurus. Dan menurut UNICEF, Indonesia adalah peringkat keempat gizi terburuk sedunia. Dengan data-data itu, tidak ada keraguan bahwa gizi bayi dan balita Indonesia memang buruk.

                Berdasar hasil survey, demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian Neonatal/AKN (anak umur kurang 4 minggu), angka kematian bayi/AKB (anak umur 4 minggu sampai 11 bulan) dan angka kematian balita/AKBAL (anak umur 1-4 tahun) terjadi penurunan. (sesuai dengan laporan UNICEF). AKN, menurun dari 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991, menjadi 19 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, begitu juga dengan AKB dan AKBAL. AKB menurun dari 68 (1991) menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (2012) dan AKBAL menurun dari 97 (1991) menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (2012).

                Kita telah membahas penyebab turunnya angka kematian anak sebelum umur 1 tahun (AKN dan AKB). Kemudian apakah penyebab turunnya angka kematian balita (AKBAL)? Seperti yang telah ditulis diatas, vaksinasi yang terbukti bermanfaat bagi balita adalah untuk penyakit cacar, polio, dipteri, pertusis, campak dan tetanus. Jadi apakah vaksinasi terhadap penyakit tersebut yang mengakibatkan turunnya AKBAL? Data Depkes 2011, melaporkan mayoritas kematian balita (44,8%) oleh karena infeksi yaitu penemonia 20,5%, diare 13,3%, meningitis 4,7%, DHF 3,6%, dan sepsis 2,7%. Sedangkan 55,2% disebabkan oleh karena lain lain seperti tenggelam, gangguan kongenital, kecelakaan, keganasan dsb.

Dengan kenyataan hanya vaksin DPT, campak dan cacar yang jelas-jelas berhubungan dengan angka kematian maka hanya penyakit itu saja lah yang di perhitungkan sebagai penambah atau pengurang kematian balita. Vaksinasi dari penyakit-penyakit itu telah dilakukan sejak 1974, dan rezim Soeharto tahun 1990 mengklaim telah melakukan vaksinasi DPT dan campak pada 90% balita Indonesia. Dan memang angka kematian balita menurun dari 128 per 1000 kelahiran hidup(1960), menjadi 97 per 1000 kelahiran hidup 1991 (24,2%). Tidak diragukan bahwa sebelum era vaksinasi, penyakit infeksi pada balita termasuk juga akibat campak, dipteri, pertusis dan tetanus adalah penyebab utama tingginya angka kematian balita. Dengan turunnya kasus dipteri, tetanus, pertusis dan campak pada tahun 1991 itu maka bisa saja kita mengklaim bahwa turunnya angka kematian dari 128 per 1000 kelahiran hidup 1960 menjadi 97 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 oleh karena keberhasilan program vaksinasi.  Walaupun demikian hal itu belum tentu benar. Karena pada zaman Soeharto terjadi peningkatan gizi balita, dan pembangunan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia lengkap dengan tenaga medisnya.

Berapakah kira-kira sumbangan kematian akibat penyakit dipteri, pertusis pada angka kematian bayi dan balita bila mereka tidak di vaksinasi DPT dan campak? Satu kepustakaan menyebutkan bahwa kematian akibat penyakit dipteri, pertusis, tetanus dan campak pada bayi dan balita di Indonesia menyumbang 5% dari angka kematian bayi dan balita. Atau 95% kematiannya bukanlah karena penyakit-penyakit tersebut. Tetapi karena infeksi penyakit lainnya dan sebab-sebab non infeksi lainnya. Dengan demikian angka kematian balita tahun 1991 ke tahun 2012 yang turun sampai dengan 56% (91 per 1000 menjadi 40 per 1000) seyogyanya adalah dibawah 5%. Sebab kasus DPT dan campak secara signifikan telah menurun sejak awal tahun 2000-an. Jadi bila seorang balita tidak di vaksinasi DPT dan campak, angka kematian maksimal hanya menurun menjadi 51%. Berarti turunnya angka kematian balita itu pada tahun 2012 juga terutama disebabkan oleh perbaikan fasilitas kesehatan termasuk juga meningkatnya aktivitas tenaga kesehatan. (sama dengan penyebab turunnya angka kematian pada bayi berumur kurang dari 1 tahun).

Tetanus di Indonesia menurut WHO telah menurun sebanyak 92% sejak tahun 2007 atau dibawah satu kasus per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan laporan penyakit dipteri Depkes menyebutkan bahwa tidak ada kasus dipteri, pada daerah-daerah yang cakupan imunisasinya tinggi. Begitu juga dengan kasus pertusis. Kematian karena pertusis telah menurun sampai dengan 96%, setelah adanya vaksinasi. Kasus campak menurun sampai dengan 78% setelah vakasinasi. Bila terjadi kenaikan kasus-kasus penyakit tersebut pada daerah-daerah tertentu di Indonesia itu disebabkan karena adanya daerah-daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah akibat penolakan orang tua.

Dengan uraian diatas terlihat bahwa vaksinasi Indonesia hanya berefek sedikit atau tidak berbanding lurus dengan kemajuan kesehatan anak Indonesia, yang dilambangkan dengan berkurangnya angka kematian dari 128 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1960 (sebelum vaksinasi) menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Dengan data bahwa gizi anak balita Indonesia tidak bertambah baik secara signifikan maka  penyebab turunnya angka kematian bayi dan balita di Indonesia adalah karena membaiknya fasilitas kesehatan di Indonesia (dalam arti luar). Oleh karena itu usulan untuk menambah vaksinasi lagi pada bayi dan balita di Indonesia seperti vaksinasi hepatitis A, Thypoid, DBD, rotary virus(diare), adalah tidak relevan. Gizi anak Indonesia lah yang perlu di tingkatkan. Secara keilmuanpun, penyakit-penyakit tersebut tidak relevan. Untuk DBD bila kita men-searching tentang dasar penyebab terjadinya DBD  (DHF Pathogenesis and Pathofisiologi), Maka teori terkuat atau rangking pertama adalah teori yang menyatakan bahwa dasar terjadinya penyakit DBD adalah hipersensitifitas. Dan mem-vaksinasi penyakit dengan dasar terjadinya penyakit tersebut adalah hipersensitifitas merupakan kontra indikasi. Begitu juga dengan penyakit Thypoid. Kebersihan makanan yang buruk meyakinkan kita, akan adanya kuman Thypoid dalam darah sebagian besar  anak Indonesia, walaupun mereka tidak sakit (carrier Thypoid). Dengan demikian jelas vaksinasi Thypoid tidak berguna. Bahkan vaksinasi influenza pun secara keilmuan, juga tidak jelas gunanya. Demam, batuk, pilek 2 hari untuk kemudian disebabkan oleh karena influenza adalah sangat berlebihan. Tidak pernah ada penelitian, tentang virus influenza lah yang menyebabkan itu. Banyak penyakit yang bisa memberikan gambaran seperti itu. Dengan alasan itu menyatakan bahwa peneumonia yang terjadi pada anak anak Indonesia oleh karena virus influenza adalah sangat absurd. Bakteri lah sebagai penyebab peneumonia anak-anak Indonesia. Begitu juga dengan vaksinasi rotary virus, yang dikatakan untuk mencegah diare pada anak-anak. Terlalu banyak penyebab diare pada anak-anak. Dan belum pernah dibuktikan bahwa rotary virus lah sebagai penyebab utama diare pada anak-anak. Sedangkan hepatitis A sangat jarang menyebabkan penyakit hati kronis dan berakibat fatal.

MASALAH VAKSIN PALSU

Apa yang ditakuti apabila anak-anak mendapat vaksinasi palsu? Berdasar uraian diatas, vaksin yang jelas bermanfaat adalah vaksin untuk penyakit campak, pertusis, dipteri, tetanus dan polio. Untuk vaksinasi hepatitis B bisa bermanfaat bila ada evaluasi setelah di vaksinasi yaitu adanya anti Hbs yang positif dan Hbs Ag yang negatif. Hampir seluruh vaksinasi hepatitis B di Indonesia  tidak mengadakan evaluasi tersebut. Justru yang ada adalah laporan Depkes yang menyebutkan prevalensi hepatitis B meningkat pada seluruh kelompok umur. Dari uraian diatas diharapkan masyarakat tahu (termasuk juga Presiden dan wartawan media), bahwa vaksinasi tidak berjalan lurus dengan kesehatan bayi dan balita, maka tidak ada yang perlu di takutkan.  Pengaruh vaksinasi DPT dan campak, hanya 5% saja untuk menyebabkan kematian. Status gizi, gaya hidup sehat, peningkatan fasilitas kesehatan yang baik, itulah yang berjalan lurus dengan kesehatan bayi dan balita. Kegegeran masalah vaksin palsu hanya menyebabkan hilangnya fokus masyarakat pada berita-berita yang menarik. Pada saat itu, berita menarik tentang keterlibatan gubernur DKI Ahok dalam korupsi pembelian lahan RSSW dan keberanian Ahok dalam menentang perintah menteri kemaritiman Rizal Ramli dalam masalah reklamasi Pulau Seribu menjadi hilang.

Tidak di vaksinasi polio pun, bukan menjadi alasan ketakutan, bahwa anaknya akan menjadi lumpuh. Sebab pada Maret 2014, WHO telah mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, sudah dinyatakan bebas dari polio, dan vaksinasi polio tidak perlu diberikan lagi. Tapi yang aneh adalah pada tahun 2015 WHO menyatakan bahwa vaksin polio oral trivalent yang mengandung strain 1,2 dan 3 itu justru menimbulkan polio. Strain 2, dituduh, bisa menjadi biang kerok dari terjadinya wabah polio kembali. Sebab pada beberapa negara, seperti Nigeria, Somalia, Suriah, Irak dan Pakistan ditemukan polio dari strain 2 virus polio. Oleh karena itu WHO meng-khawatirkan wabah polio strain 2 akan menyerang dunia. Karena tertular dari negara-negara tersebut. Oleh karena itu menurut WHO vaksin polio trivalent itu harus diganti dengan vaksin polio oral bivalent yang tidak mengandung virus polio strain 2. Walaupun demikian WHO masih khawatir juga akan terjadi wabah polio karena vaksinasi oral itu. Karena vaksin oral mengandung virus polio hidup yang dilemahkan. Karena itu, WHO menganjurkan untuk memberikan vaksinasi dengan virus polio yang telah mati. Dan untuk lebih efektif perlu diberikan dengan suntikan, betapapun harganya mahal dan hanya negara-negara maju yang dapat membuat vaksin tersebut.

Bagi saya alasan WHO, kuranglah kuat. Sudah terbukti bahwa T-OPV memberikan hasil yang baik bagi dunia termasuk juga Indonesia. Semua strain virus polio dapat dilawan. Terjadinya polio pada 5 negara yang disebutkan WHO akhir-akhir ini, kemungkinan oleh karena vaksinasi yang dilakukan tidak di booster atau tidak lengkap. Atau gizi buruk dari anak-anak didaerah tersebut karena kesulitan ekonomi akibat perang. Pergerakan virus polio dari orang-orang yang terkena di 5 negara tersebut, tidak perlu dikhawatirkan. Hal ini disebabkan karena telah adanya kekebalan pada penduduk dunia, terhadap strain 2 virus polio tersebut. Dimana hal ini dibuktikan dengan pernyataan WHO sendiri tahun 2014 yang menyatakan bahwa Asia Tenggara telah bebas polio dan tidak perlu di vaksinasi polio lagi. Itu menunjukkan telah terjadi eradikasi virus polio dan adanya kekebalan pada anak-anak Indonesia. Kita baru takut, bila virus polio yang berasal dari 5 negara tersebut telah mengalami mutasi genetik atau terjadi virus polio baru. Tapi vaksin oral polio yang baru  (B-OPV) atau vaksin injeksi polio, tidaklah mengandung strain virus polio yang baru. Jadi tidak ada gunanya mengganti vaksin polio. Ketakutan akan terjadi polio akibat vaksin adalah virus hidup yang dilemahkan tidaklah berdasar. Tidak ada kasus Vaccine Associated Polio Paralysis / VAPP/polio akibat penggunaan vaksin trivalent (T-OPV) selama 40 tahun lebih penggunaan vaksin T-OPV di Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia. Kelebihan vaksin polio secara injeksi, pada hemat saya hanyalah satu. Vaksin tersebut dapat diberikan pada orang-orang dengan kekebalan yang rendah (immunodefisiensi).

Kita baru takut dengan vaksin palsu bila vaksin palsu itu berisi zat-zat yang membahayakan jiwa. Sedangkan berdasarkan bacaan, vaksin palsu itu hanya berisi antibiotik gentamycin. Sama sekali tidak membahayakan jiwa.

KESIMPULAN

  1. Vaksinasi tidak berjalan lurus dengan kesehatan anak-anak Indonesia.
  2. Yang berjalan lurus dengan kesehatan anak-anak Indonesia adalah gizi yang baik, dan fasilitas kesehatan yang baik beserta keaktifan dan keterampilan tenaga medisnya.
  3. Dengan dasar nomor 2, harus lah semua pihak terutama para key person, menjaga fasilitas kesehatan tersebut termasuk tenaga medisnya. Karena itu semua komentar, yang membahayakan fasilitas kesehatan beserta tenaga medisnya harus dipikirkan secara matang.
  4. Vaksinasi adalah bisnis yang menggiurkan karena menyangkut puluhan juta orang dan keuntungannya tidak pernah putus sampai dengan hari kiamat. Karena itu diperlukan kehati-hatian dari pemerintah dalam masalah program vaksinasi ini.
  5. Perlu diberikan hukuman pada pembuat vaksin palsu ini termasuk juga pihak-pihak yang secara sadar memberikan kemudahan dalam penyebaran vaksin palsu tersebut. Begitu juga para pelaksana pemberian vaksin palsu ini, apabila diyakini bahwa mereka tahu isi dari vaksin tersebut adalah palsu. Tapi berdasarkan uraian-uraian diatas jelas hukumannya tidaklah seberat para koruptor kakap dan pengedar narkoba itu(bukan hukuman yang seberat-beratnya).

 Semoga Allooh SWT selalu melindungi Indonesia. Aamiin YRA

Filed under Intermezzo - Selamatkan Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Medis Indonesia : Comments (0) : Sep 25th, 2016