Bismillaahirrohmaanirrohiim

CoVID-19: AZAB ALLOOH PADA DUNIA ATAU DUNIA MENGAZAB DIRINYA SENDIRI

(Suatu Diskusi Dengan Jurnal-Jurnal Internasional)

Taufiq Muhibbuddin Waly

Membaca berita-berita terakhir tentang CoVID-19, yang menimpa dunia ini, maka terlihat bahwa dunia ini akhirnya sepakat untuk melakukan vaksinasi pada seluruh penduduk bumi dalam melawan CoVID-19. Ban mobil yang kempes dan menyebabkan tidak bergeraknya roda kehidupan dunia dengan baik harus di tambal secepatnya. Dan seperti telah di perkirakan vaksinasi adalah tambal ban itu.

Masalahnya adalah apakah memang ban mobil itu yang kempes ataukah pengendaranya yang vertigo? Pandemi CoVID-19 itu, azab dari Allooh atas penduduk bumi yang banyak dosanya atau kebodohan penduduk bumi itu sendiri yang membuat-buat azab bagi dirinya. CoVID-19 adalah penyakit ISPA biasa yang tidak mematikan ataukah penyakit berat yang sangat mematikan? CoVID-19 adalah penyakit setingkat cacing atau setingkat naga?

Pada pandangan saya, seorang intelektual sejati, seyogyanya berprinsip not the singer but the song. Tidak ada ketakutan untuk mempertanyakan suatu hal yang di anggap benar. Betapapun kebenaran itu di amini oleh seluruh intelektual dunia. Bahkan kebenaran yang dikatakan berasal dari Tuhan, bukan menjadi halangan juga untuk di pertanyakan. Risiko di katakan sebagai orang gila, bodoh, pemberontak atau ateis seyogyanya tidak menjadikan intelektual itu mundur dari keinginan untuk mengetahui kebenaran. Beriman saja tanpa diskusi adalah  pemasungan terhadap akal pikiran yang di berikan oleh Sang Pencipta. Kecuali pada hal-hal  yang memang tidak dapat di pikirkan seperti surga, neraka, bentuk zat Allooh, malaikat, iblis dan sebagainya.

Secara nalar sehat suatu penyakit dianggap bahayanya setingkat naga, bila penyakit tersebut dapat mematikan dengan cepat dan tersebar pula dengan cepat ke seluruh penduduk bumi. Baru dengan alasan demikian, seluruh penduduk bumi perlu di vaksinasi. Tetapi bila virus atau bakteri tersebut tidak mematikan orang-orang yang di infeksinya atau hanya  memberikan gejala ringan saja maka vaksinasi penduduk bumi adalah kemubadziran. Betapapun penyakit tersebut telah menyebar ke seluruh dunia. Akan lebih mubadzir lagi atau suatu kebodohan yang nyata bila ternyata vaksin tersebut,  tidak memberikan efek perlindungan terhadap penduduk bumi. Dalam arti  penduduk bumi dapat terkena lagi penyakit tersebut betapapun telah di vaksinasi.

CoVID-19 telah menyerang seluruh negara di dunia. Namun demikian berdasarkan jurnal, 81% gejala yang terjadi akibat terinfeksi CoVID-19, adalah ringan saja (ISPA). [1]  Bahkan ada jurnal yang mengatakan bahwa 40-50% orang yang terinfeksi SARS-CoV2 tidak memberikan gejala apa apa.[2] Bila 40-50% yang terinfeksi CoVID-19 tanpa gejala itu terjadi pada usia muda, maka hal tersebut masih dapat di mengerti. Tetapi bila itu terjadi pada orang-orang dengan usia rata-rata 68 tahun keatas dan terkumpul pada sebuah kapal serta kebanyakan mereka mempunyai komorbid, maka hal itu adalah hal yang luar biasa. Atau menjadi pertanyaan apakah CoVID-19 ini benar-benar berbahaya atau kah tidak.

Sakiko Tabata  dkk, mengadakan penelitian pada 104 orang yang turun dari kapal Princess Diamond dan memeriksakan diri ke Self Defence Forces Hospital[3].  Kapal Princess Diamond adalah kapal pesiar yang di karantina di pelabuhan Yokohama mulai tanggal 4 Februari sampai dengan 18 Februari 2020, karena sebagian penumpangnya terkena CoVID-19.

Didapatkan data sejak tanggal 11 Februari – 25 februari, yang berobat ke rumah sakit itu sebanyak 104 orang. dan rata-rata berumur 68 tahun. 54 % dari 104 orang itu, mempunyai komorbid seperti penyakit jantung, DM, penyakit respirasi dan penyakit endokrin lain. Pada saat pertama kali datag ke rumah sakit tersebut di dapatkan data 43 orang (41% tidak mempunyai gejala sama sekali. 20 orang (19%) mempunyai gangguan pernapasan  termasuk disitu saturasi Oksigen <93%. Sedangkan 41 orang (39%) mempunyai gejala ringan saja dalam arti tidak mempunyai gangguan pernapasan atau respirasi. Ternyata orang-orang yang menderita gangguan pernapasan atau respirasi mempunyai umur rata-rata 73 tahun[3].

Sedangkan berdasarkan data dunia CoVID-19 tanggal 10 September 2020, didapatkan total kasus sejak Januari 2020 adalah 28.044.161 orang. Dan yang meninggal sebanyak 908.292 orang atau 3,23%[4]. Di lain pihak bila kita memakai data kota New York ( karena laporan data CoVID-19, saya anggap paling akurat), maka didapatkan data bahwa kematian pada usia 75 tahun keatas atau kematian pada orang Amerika Serikat yang telah melewati life expectancy atau orang-orang yang baik ada CoVID-19 atau tidak, tinggal menunggu kematiannya saja, maka presentase kematian orang-orang tersebut yang dikatakan meninggal karena CoVID-19 mencapai 65,3% dari total jumlah semua kematian akibat CoVID-19[5]. Berarti lebih dari 60% kematian yang dikatakan akibat CoVID-19 itu terjadi pada usia yang telah melewati life expectancynya. Dari data dunia pun didapatkan hasil 99% memberikan gejala ringan saja, hanya 1% yang berat atau severe [4].

Bila data kota New York dijadikan patokan dan kematian pada orang-orang yang telah melewati life expectancynya (sesuai dengan negara masing-masing) tidak dihitung, maka kematian akibat CoVID-19 ini sebenarnya tidak lebih dari 1,5% (1,13%). Bukan 3,23%. Sebab orang-orang yang telah melewati life expectancynya seyogyanya atau secara nalar sehat sepantasnya dikeluarkan dari perhitungan.

Kesimpulan dari semua data diatas adalah kematian dunia akibat CoVID-19, mungkin saja hanya 1,13% atau bahkan kurang dari itu bila teori CoVID-19 adalah penyakit 1000 muka tidak dipakai sebagai acuan oleh para dokter seluruh dunia. 81% infeksi CoVID-19 hanya memberikan gejala ringan saja (bahkan 99% menurut data dunia). 40-50% yang terinfeksi CoVID-19 tidak memberikan gejala sama sekali. Gejala klinik akibat CoVID-19, yang terjadi pada usia tua ( > 60 tahun) ternyata 82% nya adalah tanpa gejala dan gejala ringan saja / tanpa gangguan respirasi / sesak (padahal kebanyakan mereka mempunyai komorbid). Maka menjadi pertanyaan besar bagi kita kenapa orang-orang yang belum termasuk usia tua berdasarkan kriteria WHO (50 – 60 tahun) bahkan lebih muda dari itu, di tuliskan diagnosa kematiannya adalah karena CoVID-19. Terlebih lagi bila tanpa komorbid. Atau sepertinya penyebab mobil dunia ini tersendat jalannya bukanlah karena ban kempes tetapi karena pengendaranya mengalami vertigo.

Dengan alasan-alasan diatas nama Severe Acute Respiratory Syndrome, tidak cocok untuk diberikan pada virus Corona penyebab CoVID-19 ini. Betapapun virus Corona ini mempunyai sub genus yang sama dengan virus Corona yang menyebabkan SARS dan MERS. Pada kedua penyakit tersebut kata-kata Severe Acute Respiratory Syndrome dapat diberikan. Virus Corona yang menyebabkan SARS itu (2002-2004), kematiannya adalah tinggi yaitu sekitar 9,3% (913 kematian dari 8.437 kasus)[6]. Begitu juga dengan MERS, kematian yang terjadi adalah 854 orang dari 2.494 kasus (34,4%)[7]. Jadi logisnya virus Corona yang menyebabkan CoVID-19 ini di namakan CoV-2 Wuhan saja. Karena dari Wuhan Cina itu lah awal dari CoVID-19.

Dengan semua yang telah di tuliskan di atas pula lah, sepertinya CoVID-19 hanyalah penyakit setingkat cacing saja. Lalu kenapa semua penduduk bumi menjadikannya sebagai penyakit setingkat naga yang sangat menakutkan?

Pada hemat saya penyebabnya adalah :

  1. Di ikutinya patogenesis yang di ajarkan oleh jurnal-jurnal internasional (tanpa bantahan dari WHO) oleh para dokter sedunia. Ajaran itu adalah CoVID-19 dapat menyebabkan segala macam penyakit / the thousand faces disease / great imitator disease. Dan CoVID-19 dapat menyababkan rusaknya banyak organ, oleh karena adanya badai sitokin. Pengertian-pengertian seperti itulah yang disebar luaskan oleh media massa dan dokter-dokter di penjuru dunia. [8,9,10,11,12,13,14,15,16]
  2. Ekspos besar-besaran oleh media massa mainstream seluruh dunia terhadap kematian-kematian yang penyebabnya dikatakan oleh karena CoVID-19. Padahal total kematian secara nalar sehat seperti yang telah dituliskan diatas kemungkinan tidaklah lebih dari 1,5% saja. Bahkan bisa jauh kurang dari itu.

Bantahan terhadap patogenesis CoVID-19 seperti yang di ajarkan pada jurnal-jurnal internasional.

Bagaimanakah patogenesis CoVID-19 itu?

Virus merupakan mikro organisme yang untuk proliferasinya memerlukan sel hidup dari manusia.[17,18]. Sel hidup itu harus benar-benar dapat menunjang virus, supaya dapat bereplikasi di dalam sel tersebut. Sel seperti itu dikatakan sel permissif[19]. Selain itu sel tersebut harus mempunyai reseptor supaya virus dapat masuk ke dalam sel tersebut. Sel yang bersifat permissif dan mempunyai reseptor terhadap virus itulah yang merupakan sel target dari virus [20]

Suatu virus dapat saja masuk kedalam sel, oleh karena adanya reseptor. Tapi belum tentu virus tersebut dapat hidup dan bereplikasi di dalam sel itu. Itulah yang dinamakan sifat tropismus dari virus. [21-22]

Dengan dasar itu yang perlu di cari pertama kali adalah dimanakah sel target dari virus CoV-2 Wuhan itu. Bukan mencari reseptor. Contohnya pada virus HIV. Reseptor virus itu terdapat pada limposit T helper (CD4), limposit B, sel makrofag, sel dendrit, dan sel granulosit [23]. Tetapi sel target atau sel dimana virus dapat hidup dan bereplikasi dengan baik adalah pada sel CD4.

ACE2 dikatakan reseptor dari sel hidup manusia yang menyebabkan virus CoV-2 Wuhan dapat masuk ke dalam sel. [8,10] Betapapun ACE2 bukanlah bagian dari sel tersebut. ACE2 adalah enzim yang menempel pada permukaan sel organ tertantu dan berfungsi untuk mendeteksi aliran darah dan elektrolit yang terdapat pada sel tersebut. Enzin ACE2 terdapat pada sel sel endopel pembuluh darah arteri dan vena, sel-sel tractus respiratorius, ginjal, digestif, kulit, jantung, testis dan otak. [24,25,26] Tapi berdasarkan sifat tropisme dari virus seperti yang di contohkan pada virus HIV, maka belum tentu virus tersebut dapat bereplikasi di dalam sel yang mempunyai ACE2 pada permukaan membrane selnya. Karena itu menyatakan bahwa virus pasti dapat bereplikasi pada sel organ-organ tubuh yang mempunyai ACE2 pada permukaannya adalah suatu kesalahan mutlak.

Dimanakah sel target dari virus CoV-2 Wuhan?

Jurnal mengatakan bahwa  patogenesis CoVID-19 identik dengan penyakit SARS atau MERS.[27,28]. Menyamakan patogenesis CoVID-19 dengan SARS atau MERS pada pandangan saya adalah salah. Karena kematian yang di akibatkan oleh CoVID-19 jauh lebih sedikit ketimbang SARS apalagi MERS. Dan yang lebih tidak di mengerti lagi adalah membuat patofisiologi dari CoVID-19 menjadi begitu menakutkan dengan mengatakan bahwa CoVID-19 adalah the thousand faces disease atau menyebabkan kerusakan banyak organ akibat adanya badai sitokin.

Sel target dari SARS CoV yang menyebabkan SARS/MERS itu adalah human alveolar type 2. [29] Human alveolar type 2 adalah sel epitel saluran nafas yang berbatasan langsung dengan alveoli. Atau disebut juga sel pneumokist 2. [30,31] Berarti sel target dari SARS CoV berada disaluran nafas bagian bawah dan dekat dengan alveoli. Sehingga bisa di mengerti bila SARS CoV / MERS-COV dapat menyebabkan ARDS dan meninggalnya seseorang yang terinfeksi. Karena selain dekat dengan alveoli, (yang memungkinkan virus dengan mudah dapat berimigrasi ke alveoli) , kerusakan pneumokist 2 itu akan menyebabkan gagalnya pneumokist 2 untuk mengganti kerusakan sel-sel alveoli dan mempertahankan tegangan antara alveoli dengan oksigen[30,31]. ACE 2 berdasarkan penelitian mempermudah SARS CoV masuk kedalam sel pneumokist 2. [32,33,34]

Bagaimana dengan infeksi CoV 2 Wuhan?

Berdasarkan data worldmeter bahwa 99% hanya menimbulkan gejala klinik ringan saja, maka tidak dapat diterima bila infeksi CoV 2 Wuhan juga mempunyai sel target pada pneumokist 2. Sampai saat ini penularan yang dipastikan dapat menginfeksi manusia menurut WHO adalah melalui droplet infection. [35] Sehingga dengan mayoritas infeksi hanya memberikan gejala klinik yang ringan dan cara penularan yang seperti itu, adalah logis bila sel target dari CoV 2 Wuhan adalah pada sel-sel di saluran nafas bagian atas (sel silia atau sel Goblet).

Ternyata berdasarkan penelitian Waradon Sungnak dkk dengan mikro organisme yang menyerupai CoV 2 Wuhan, di dapatkan ACE 2 beserta sel-sel innate (pembunuh virus), paling banyak terdapat di epitel nasal terutama pada cluster sel Goblet. [36]

Di lain pihak penelitian Hamming dkk pada pasien SARS di dapatkan ACE 2 pada bagian basal sel Goblet saluran nafas bagian atas. Tapi tidak di dapatkan ACE 2 pada permukaan membrane dari sel-sel saluran nafas bagian atas (sel Goblet) itu. ACE 2 terutama terdapat pada permukaan membran sel-sel epitel saluran nafas bagian bawah dan alveolus. [24]

Jadi berdasarkan penelitian-penelitian yang telah di lakukan maka jelas pada kita bahwa menyamakan patogenesis CoVID-19 dengan SARS atau MERS adalah kesalahan besar. Sel target dari CoV 2 Wuhan adalah sel Goblet pada saluran nafas bagian atas. Sedangkan sel target dari SARS CoV adalah sel alveolar tipe 2 atau sel pneumokist tipe 2. [24, 28, 29, 36]

Bagaimana dengan penelitian Soeren Lukassen dkk yang menyatakan bahwa kemungkinan sel target dari CoV 2 Wuhan berada di saluran nafas bagian bawah yaitu pada sel-sel Goblet di bronkhiolus atau bahkan pada sel alveolus? [37]

Seperti yang telah di tuliskan di atas, SARS CoV  mempunyai sel target pada sel alveolar tipe 2 / pneumokist tipe 2. Karena ACE 2 banyak di tunjukkan pada permukaan sel-sel tersebut. [28,29] Tetapi ACE 2 tidak di temukan pada permukaan membran epitel sel Goblet di saluran nafas bagian atas. Walaupun ACE 2 sebenarnya tetap di temukan pada lapisan basal dari sel Goblet tersebut. [24] Kalaupun ditemukan pada sel-sel di saluran nafas bagian atas, jumlahnya hanya sedikit saja. [28]

Penelitian Soeren Lukassen dkk pada infeksi CoV 2 Wuhan memang di temukan ACE 2 yang banyak pada sel Goblet di saluran nafas bagian bawah, bahkan pada alveoli. Membran sel-sel itupun mendukung untuk masuknya virus pada sel-sel tersebut. Sayangnya penelitian itu tidak memeriksa bagaimana ACE 2 dan TMPRSS 2 pada sel-sel Goblet yang berada di saluran nafas bagian atas. Bila Soeren Lukassen dkk melakukan pemeriksaan pada sel-sel Goblet saluran nafas bagian atas, mungkin mereka akan mendapatkan hasil yang sama dengan Waradon Sungnak dkk. [36] Dimana pada penelitian Waradon Sungnak dkk di dapatkan bahwa ACE 2 pada infeksi CoV 2 Wuhan terutama terlihat pada sel Goblet di saluran nafas bagian atas. Dan penelitian itu mempunyai akurasi yang tinggi, karena di dapatkan juga sel-sel innate yang banyak terdapat pada sel Goblet di saluran nafas bagian atas tersebut. Suatu hal yang menunjukkan bahwa di sel Goblet saluran nafas bagian atas terjadi reaksi imunologis yang aktif akibat terkumpulnya CoV 2 Wuhan disitu.

Bagaimana dengan tulisan Mason yang mengatakan bahwa sel target CoV 2 Wuhan, bukan di sel-sel saluran nafas bagian atas, tetapi pada sel-sel saluran nafas bagian bawah atau pneumokist tipe 2?[28]

Mason mendasarkan tulisannya, pada penelitian SARS CoV secara in vitro. Bukan CoV 2 Wuhan. Seperti yang telah di tuliskan di atas bahwa ACE 2 tidak ada pada  permukaan membrane sel saluran nafas bagian atas[24] Bahkan Mason pun mengakui bahwa ACE 2 yang terdapat pada sel-sel saluran nafas bagian atas hanyalah sedikit saja. Bila Mason memakai virus yang menyerupai CoV 2 Wuhan, seperti yang dilakukan oleh Wardon Sungnak dkk, maka di yakini bahwa hasil yang di dapatkan akan sama dengan penelitian Wardon Sungnak dkk.

Dengan keterangan-keterangan di atas, maka terbukti bahwa sel target dari CoV 2 Wuhan adalah sel Goblet di saluran nafas bagian atas. Berangkat dari situlah baru kemudian terjadi gangguan-gangguan faal (patofisiologi) dari manusia yang terinfeksi CoV 2 Wuhan itu.

Adalah salah bila mengatakan terjadinya patofisiologi dengan berdasarkan atau berawal adanya CoV 2 Wuhan di dalam darah. Kesalahan mendasar seperti itulah yang menyebabkan infeksi CoV 2 Wuhan yang sebenarnya hanya memberikan gejala setingkat cacing, berubah menjadi setingkat naga. Hal itu disebabkan mereka berpatokan pada penelitian yang di lakukan oleh Linlin Bao dkk. [38]

Linlin Bao dkk mendapatkan hasil bahwa SARS CoV 2 Wuhan pada tikus, ternyata dapat masuk pada sel-sel organ tubuh yang mempunyai ACE 2 pada permukaan membrane sel nya.

Apakah hal seperti itu akan terjadi pada manusia?

CoV 2 Wuhan masuk ke tubuh manusia, melalui droplet infection. Tapi Linlin Bao dkk memasukkan CoV 2 Wuhan ke tubuh tikus dengan menyuntikkan virus tersebut ke badan tikus (betapapun pada penelitian itu tidak di sebutkan bahwa mereka menyuntikkan CoV 2 Wuhan ke badan tikus).

Pada manusia adalah suatu hal yang sulit terjadi bila CoV 2 Wuhan itu berhasil masuk ke dalam darah. Bahkan untuk turun ke saluran nafas bagian bawah saja sudah sulit. Oleh karena imunitas kita akan menghancurkan CoV 2 Wuhan itu, ketika virus-virus itu berada di saluran nafas bagian atas.

Pada pandangan saya penelitian Linlin Bao dkk, hanya menujukkan fakta, bahwa memang CoV 2 Wuhan akan mudah masuk ke dalam sel bila ada enzim ACE 2 di permukaan sel tersebut.

Dengan dasar bahwa CoV 2 Wuhan sulit untuk mencapai darah, maka adanya komplek imun yang luas dan aktivitas komplemen-komplemen dari tubuh tidak terjadi. Lain halnya dengan infeksi virus Dengue yang langsung ke darah. Komplek imun pada infeksi virus Dengue dapat tersebar luas di sirkulasi darah. [39] Hal itu akan menyebabkan teraktivasinya komplemen-komplemen di dalam tubuh. [40]

Akibat komplek imun yang tersebar luas dan teraktivasinya komplemen-komplemen maka terjadilah badai sitokin. (IL-1, IL-2, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, IL-13,IL-15, IL-18, IFN-y, TNF-α, TGF-β, CXCL-10, CXCL-11, MIP-1β, MCP1, GM-CSF). [41, 42,43]

Dengan badai sitokin seperti itu, kerusakan banyak organ adalah suatu hal yang biasa terjadi pada infeksi Dengue. [44, 45, 46,47] Dengan dasar itu mengatakan bahwa infeksi Dengue adalah penyakit ringan saja, adalah sangat tidak beralasan. Banyak organ tubuh yang rusak sebenarnya disebabkan oleh infeksi Dengue. Terapi mereka mengatakannya bukan karena infeksi Dengue. Infeksi Dengue lah yang boleh menyandang gelar the thousand faces disease atau the great immitator disease.

Sangatlah menarik bahwa WHO dan para penulis jurnal, mempercayai penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi CoV 2 Wuhan menimbulkan reaksi hebat dari tubuh dengan mengeluarkan banyak sekali sitokin. Bahkan mengatakannya sebagai badai sitokin.

Sitokin yang di keluarkan oleh tubuh akibat infeksi  CoV 2 Wuhan, di percaya melebihi sitokin akibat  SARS CoV atau MERS CoV. Padahal penyakit SARS atau MERS lebih banyak menimbulkan kematian. [11, 12, 13, 48, 49]

Dasar untuk mengatakan terjadinya badai sitokin dari infeksi CoV 2 Wuhan, dalam pengamatan saya pada jurnal-jurnal adalah karena mengutip penelitian yang dilakukan oleh Chaolin dkk. [49] Huang mengatakan bahwa sitokin yang keluar pada infeksi CoV 2 Wuhan adalah (IL-2, IL-7, IL-10, GSCF, IP-10, MCP-1, MIP-1A, TNF-α, IL-1B, IL-1RA-IL-8, IL-10, FGF, GCSF, MCSF, IFN-y, MIP-1B, PDGF, IL-5, IL-12 P-70, IL-15, Eutaxin, RANTES, IL-2).

Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin akan terjadi badai sitokin, terhadap infeksi CoV 2 Wuhan, bila virus-virus itu terutama banyak terkumpul di sel Goblet saluran nafas bagian atas. Kalaupun ada yang lolos ke saluran nafas bagian bawah, maka sitokin yang keluar lebih kurang adalah sama banyaknya dengan sitokin yang keluar akibat infeksi SARS CoV/MERS CoV.

Sitokin SARS CoV: IFN-y, IL-4, IL-10, IL-1B, IL-6, IL-12, IL-8, MCP1, IP-10, TNF-α, MIP-1α [48]

Sitokin MERS CoV: TNF-α, IL-6, IFN-y, IL-12, IFN- λ, CXCL-10, CCL-2, CCL-3, IL-8, MCP-1, IL-10, MIP-1α, IL-15, IL-17, IFN-α, IFN-β [48]

Bila kita melihat penelitian yang dilakukan oleh Linlin Bao dkk maka keluarnya sitokin-sitokin yang sangat banyak seperti yang di laporkan oleh Chaolin dkk menjadi pertanyaan besar. Sebab pada penelitian Linlin Bao dkk di dapatkan hasil betapapun CoV 2 Wuhan dapat masuk atau di temukan pada sel-sel paru-paru, ginjal, intestinal, myocardium, cerebral dan testis setelah penyuntikan CoV 2 Wuhan pada tikus,  tetapi kerusakan hebat hanya terjadi pada traktus respiratorius atau saluran nafas bagian bawah. Yaitu pada epitel-epitel bronkiolus dan sel-sel alveolus. Sedangkan pada sel-sel organ lain, tidak terdapat perubahan histopatologis yang signifikan. [38] Penjabaran lebih lanjut dari fakta tersebut adalah seyogyanya badai sitokin tidak terjadi. Sitokin yang di keluarkan tubuh akibat CoVID-19 maksimal hanyalah sebanding dengan SARS/MERS. Padahal sitokin yang dikeluarkan pada SARS/MERS tidak dikatakan sebagai badai sitokin.

Selain hal-hal tersebut,laporan dari jurnal-jurnal tentang adanya komplek imun yang tersebar luas disirkulasi,akibat infeksi CoV-2 Wuhan  tidak ada. Begitu juga dengan banyaknya komplemen yang teraktivasi. Akibat tidak adanya kedua hal tersebut, menambah pertanyaan apakah mungkin terjadi badan sitokin pada infeksi COV-2 Wuhan itu ?

Secara teks book bisa saja komplemen teraktivasi tanpa harus adanya komplek antigen dan antibodi (Jalur alternatif dan jalur lectin) [50,51]. Dan dengan teraktivasinya komplemen-komplement tersebut akan memacu keluarnya sitokin-sitokin. CoV-2 Wuhan dikatakan dapat melakukan itu karena patogenesis CoV-2 Wuhan seperti yang telah dituliskan didepan dianggap identik dengan SARS-CoV.

Pada tikus yang diinhalasi virus SARS CoV didapatkan aktivasi komplemen-komplemen C3, C3A, C5A [52,53]. Bahkan karena ACE 2 juga terdapat pada permukaan membran sel endotelial arteri dan vena, serta organ-organ tubuh lainnya, maka jalur klasikpun seperti yang terjadi pada infeksi Dengue dapat pula terjadi pada infeksi CoV 2 Wuhan ini. Dengan demikian komplek antigen-antibodi yang luas akan terjadi pada pasien-pasien CoV 2 Wuhan yang memberikan gejala klinik berat, seperti ARDS. Itulah hipotesis kenapa badai sitokin dapat terjadi pada infeksi CoV 2 Wuhan [54]

Telah dituliskan didepan bahwa sel permisif dan sifat tropismus dari CoV 2 Wuhan dibantu dengan penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa sel target dari CoV 2 Wuhan adalah sel goblet dari saluran pernafasan bagian atas. Fakta pun menunjukan gejala klinik yang terjadi 99% adalah ringan. Kematian pun yang terjadi terutama pada usia yang sangat lanjut atau telah melewati life expectancy-nya. (berdasarkan data COVID-19 di New York,AS). Dengan demikian fakta-fakta itu menunjang bahwa sel target dari CoV 2 Wuhan terletak di sel goblet saluran nafas bagian atas. Penelitian Linlin Bao pun menyatakan bahwa tidak ada kerusakan yang signifikan pada organ-organ yang mempunyai ACE 2 pada permukaan sel nya, kecuali pada traktus respiratorius. Dengan dasar semua itu menyatakan bahwa patogenesis CoV 2 Wuhan identik dengan SARS CoV sehingga memungkinkan terjadinya komplek antigen-antibodi yang tersebar luas dan teraktivasinya banyak komplemen adalah suatu hal yang tidak dapat diterima. Terlebih lagi mengatakan bahwa komplek imun yang luas di sirkulasi, yang akan mengaktivasi jalur klasik komplemen akan terjadi pada infeksi CoV 2 Wuhan. Penolakan bahwa patogenesis CoV 2 Wuhan identik dengan SARS CoV telah pula diterangkan didepan sebelumnya.

Dengan diyakininya bahwa sel target dari CoV 2 Wuhan adalah sel Goblet dari saluran nafas bagian atas dan tidak adanya badai sitokin, harusnya segala hal yang horror dari CoVID-19 tidak dapat di terima atau masalah CoVID-19 telah selesai.

CoVID-19, bukan the thousand facies diseases atau great imitator diseases dan tidak usah di takuti oleh karena tidak menimbulkan badai sitokin. CoVID-19 hanyalah penyakit ringan saja, setingkat dengan Influenza. Influenza tidak akan mematikan pasien yang terinfeksi virus HIV. Ternyata hal demikian juga di temukan pada pasien-pasien yang HIV nya positif dan terinfeksi CoVID-19. Bahkan betapapun pasien yang terinfeksi virus HIV tersebut tidak melakukan pengobatan dengan baik untuk virus HIV nya. [55]

Dengan apa yang telah di tuliskan di atas, maka semua kematian yang dikatakan oleh karena CoVID-19 tidak dapat di terima. Bahkan termasuk juga kematian pada orang-orang yang telah melewati life expectancy-nya (orang-orang yang sudah lanjut usia/tinggal tunggu kematiannya saja). Bila orang-orang yang terinfeksi virus HIV saja dan tidak melakukan pengobatan dengan baik untuk virus HIV nya masih bisa bertahan terhadap serangan CoVID-19, maka secara nalar sehat, demikian pula yang terjadi pada orang-orang yang telah melewati  life expectancy-nya. Bila mereka mengalami kematian dan pada saat pemeriksaan CoVID-19 nya positif, maka kematiannya bukan oleh karena CoVID-19. Tetapi oleh karena penyakit-penyakit kronis lainnya yang telah di dapat pada orang-orang dengan lanjut usia itu. Adanya infeksi bakterial pun selalu harus di dahulukan sebagai penyebab kematian, ketimbang CoVID-19.

CoVID-19 baru bisa di anggap sebagai penyebab kematian pada orang-orang lanjut usia itu bila viral load yang masuk dalam sistim pernafasannya sangat tinggi. Misalnya bila dia berada di kota Wuhan pada saat CoVID-19 baru saja terjadi. Atau 2-3 bulan setelah pandemik CoVID-19 (sampai dengan bulan April 2020). Dimana pada saat itu ditemukan banyaknya orang-orang tua yang mati hampir secara bersamaan di seluruh dunia ini secara signifikan. Maka barulah dengan demikian CoVID-19 dikatakan mempunyai viral load yang tinggi. Sedangkan pada saat sekarang kita tidak menemukan banyaknya orang-orang lanjut usia yang mati secara bersamaan secara signifikan. Yang di dapatkan adalah bertambahnya hasil tes CoVID-19 yang positif. Di karenakan meningkatnya aktivitas suatu negara untuk memeriksa swab tenggorok pada rakyatnya. Dan itu bukan menunjukkan adanya viral load yang tinggi. Atau terjadinya pandemi baru tidak dapat diterima.

Dengan dibuktikannya bahwa sel target CoV 2 Wuhan berada pada sel Goblet saluran nafas bagian atas dan di tolaknya badai sitokin akibat infeksi CoV 2 Wuhan serta tidak di temukannya kerusakan yang berarti pada sel-sel ginjal, jantung, cerebral, intertinal, kecuali pada sel-sel pernafasan, maka semua jurnal yang mengatakan bahwa CoV 2 Wuhan dapat menyebabkan kerusakan pada multi organ manusia tidak dapat di terima. [8, 9, 56, 57, 58, 59, 60] Atau semua kematian yang dikatakan, disebabkan oleh karena gangguan organ diluar traktus respiratorius bukanlah di sebabkan CoVID-19. Walaupun demikian CoVID-19 dengan gangguan traktus respiratorius berat pun baru di mungkinkan sebagai akibat dari CoVID-19 bila gangguan pernafasan tersebut terjadi pada orang-orang yang telah melewati life expectancy nya dan di daerah dengan viral load yang tinggi seperti yang telah di tuliskan di atas.

Dengan dasar patogenesis, seperti yang telah dituliskan diatas, maka bila ada kematian yang dianggap oleh COVID-19, hal itu adalah karena adanya kerusakan berat pada paru-paru. Ternyata penelitian dengan melakukan biopsy pada pasien-pasien yang meninggal oleh karena CoVID-19 juga membuktikan hal yang sama. [61] Hasil biopsi menunjukkan kerusakan organ-organ di luar paru di sebabkan oleh karena penyakit kronik dari organ-organ tersebut. [61] Kemungkinan lain adalah kerusakan-kerusakan diluar organ paru merupakan  manifestasi sekunder akibat kerusakan diparu.[61] Dengan kata lain adanya DIC, fibrinogen yang meningkat dan gangguan koagulasi lainnya, adalah sekunder akibat gangguan diparu-paru.

Kasus pada artikel 62 adalah kasus yang bagus untuk di diskusikan. Apakah kematiannya karena CoVID-19 dan HIV ataukah karena penyakit lain. [62] Dengan dasar semua yang telah di tuliskan di atas, penyebab kematian akibat adanya multi organ failure, bukanlan disebabkan oleh karena CoVID-19 dan HIV. Tetapi lebih mungkin kematian tersebut disebabkan kombinasi infeksi Dengue dengan infeksi bakterial dan HIV. [62] Bila cara berfikir seperti itu menjadi pedoman bagi para dokter sedunia, maka kematian yang di katakan akibat CoVID-19 akan menurun drastis. Betapapun jumlah swab tenggorokan yang positif bertambah banyak.

Dengan dibuktikannya bahwa sel target dari CoV-2 Wuhan adalah sel goblet saluran nafas atas, maka apa yang diyakini oleh WHO, bahwa penularan COVID-19, secara pasti hanyalah melalui droplet infection dapat diterima. Itu berarti penularan secara aerosol atau airbone hanya mempunyai kekuatan yang lemah untuk menyebabkan seseorang tertular COVID-19. Kecuali udara sekitar penuh dengan CoV-2 Wuhan. Misalnya terjadi kebocoran laboratorium virus.

Bila penularan seraca aerosol dan airbone hanya mempunyai kekuatan lemah, beranti penularan melalui mata, kulit, kontak seksual, dan sebagainya, lebih lemah lagi. Atau dapat dikatakan tidak mungkin. Dengan demikin protokol jenazah secara COVID-19 dan pemakaian APD lengkap pada saat memeriksa pasien COVID-19 tidak dibutuhkan

Berdasarkan semua yang telah ditulis diatas, maka terapi pada pasien COVID-19 adalah simptomatik saja. Pemberian kloroquin, deksamethasone dan metilprednisolon dosis imunosuppresif, obat anti kanker (tocilluzumab) dan macam-macam obat anti virus seperti rendesvir, lopinavir, ritonavir, dan obat-obat anti virus lainnya adalah tidak berguna.

Memang didapatkan macam-macam hasil penelitian, yang menunjukkan berguna atau tidaknya obat tersebut. Tetapi berdasarkan teori bahwa, antibodi seseoranglah yang menentukan sakit atau tidaknya dia terhadap infeksi CoV 2 Wuhan serta di buktikannya bahwa sel target CoV 2 Wuhan terletak pada sel Goblet di saluran nafas bagian atas dan tidak kuatnya alasan untuk menyatakan bahwa CoV 2 Wuhan menimbulkan badai sitokin, maka jurnal-jurnal yang menyatakan bahwa obat-obat seperti yang di tuliskan di atas adalah tidak berguna lebih dapat di terima. [63,64,65,66,67,68,69]

Tidak bisa di mengerti, bahwa ketakutan akan adanya  badai sitokin, menyebabkan para pakar menyarankan pemberian obat-obat seperti deksamethasone atau metilprednisolon dalam dosis imunosuppresif. Bahkan memberikan obat-obat anti kanker. [70,71,72]

Pemberian kortikosteroid pada sepsis dan syok sepsis merupakan contoh yang baik sebagai pembanding. Pada keadaan sepsis atau syok sepsis pemberian kortikosteroid dosis imunosuppresif tidak berguna. [73] Jadi virus atau bakteri itulah yang harus di bunuh. Bukan keluarnya sitokin yang harus di tekan. Karena penekanan keluarnya sitokin berarti menekan sistim imunitas kita dalam melawan mikroba tersebut.

Pemberian kortikosteroid dosis imunosuppresif dipastikan berguna hanya pada reaksi hipersensitivitas atau autoimun. Oleh karena itu Waly et all mengusulkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi atau dosis imunosuppresif setelah mencoba membuktikan bahwa patogenesis infeksi Dengue, bukanlah oleh karena keganasan virus seperti yang di katakan Gubler atau Halsteid, tetapi oleh karena terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe III. [74,75]

Vaksinasi CoVID-19

Seperti yang telah dituliskan di depan CoVID-19 hanya memberikan gejala ringan saja dan tidak menimbulkan badai sitokin. Semua kematian yang dituliskan penyebabnya karena CoVID-19 tidak bisa diterima kecuali pada orang-orang yang telah melewati life expectancynya dan mempunyai viral load yang tinggi.

Dengan dasar itu menjadi pertanyaan apakah seluruh penduduk bumi harus divaksinasi CoVID-19 (betapapun harus diakui bahwa CoVID-19 telah menginfeksi seluruh dunia)?

Pada pandangan penulis, vaksinasi CoVID-19, pada seluruh penduduk bumi, baru dilakukan bila selain mudah menular, juga menyebabkan banyak kematian pada penduduk bumi. Dengan dibuktikannya pada artikel ini, bahwa CoVID-19 adalah penyakit setingkat cacing, maka membesarnya CoVID-19 menjadi setingkat naga diakibatkan oleh tiupan-tiupan dari media massa. Khususnya media massa mainstream di Amerika Serikat (yang ditiru oleh media mainstream seluruh dunia). Penulis telah pernah menjawab, hal tersebut ketika media mainstream Amerika Serikat, mengekspose besar-besaran kematian rakyat Amerika Serikat akibat CoVID-19 yang telah melewati 100.000 orang. Dimana dari jumlah kematian yang dikatakan telah mencapai 104.542 orang itu (30 Mei 2020) maka penurut penulis jumlah kematian murninya maksimum adalah hanya 12.658 orang (12,1% saja dari yang di klaim oleh data dunia dan media massa).[76] Atau 0,6% saja dari total kasus CoVID-19 pada tanggal 30 Mei 2020 itu yang berjumlah 1.836.298 orang. Atau kematiannya setara dengan kematian akibat Influenza yang kurang dari 1% [13]. Dengan dasar itu kematian akibat infeksi bakterial atau virus lainnya seperti Dengue dan gangguan penyakit kronik lainnya harus didahulukan sebagai penyebab kematian ketimbang CoVID-19.

Bila kita mengabaikan semua kekacauan itu dan melakukan vaksinasi CoVID-19 apakah itu efektif?

Pada hemat penulis, suatu vaksin, dikatakan efektif bila persentase orang yang telah divaksin tersebut tidak menderita lagi penyakit sesuai vaksinnya melebihi 60%. Dan selama minimal 3 tahun berturut-turut orang tersebut tidak menderita penyakit sesuai dengan vaksinnya. Misalnya vaksinasi Influenza. Bila lebih 60% orang yang divaksinasi Influenza selama 3 tahun berturut-turut tidak mengalami gejala flu, maka barulah vaksinasi Influenza itu dikatakan efektif.

Ternyata kesuksesan rata-rata setiap tahunnya (tahun 2004-2017) hanyalah 40,84% saja. [77] Bahkan ada yang kesuksesannya hanya 10% saja, yaitu pada tahun 2004. [77] Atau 90% yang mendapatkan vaksin Influenza, tetap menderita gejala flu pada tahun 2004 itu. [77]

Bagi saya hal tersebut adalah suatu kegagalan. Alasan bahwa, kegagalan tersebut adalah akibat terjadinya perubahan tipe virus, karena saat pembuatan terjadi gangguan pertumbuhan di dalam telur atau memang virus yang datang ke masyarakat telah mengalam perubahan tipe (bukan karna gangguan pertumbuhan virus), atau gagalnya oleh karena kondisi pasien yang buruk pada saat terserang flu, semuanya itu tidak dapat diterima.[78]

Menghapus kegagalan dengan mengatakan bahwa berkurangnya jumlah pasien yang masuk ICU dan yang berobat ke rumah sakit oleh karena Influenza tidak pula dapat diterima. [78] Karena mungkin saja hal tersebut bukan oleh karena efek dari vaksin, tetapi oleh karena bagusnya daya tubuh seseorang akibat berubahnya gaya hidup dan gizi mereka. Atau bahkan berkurangnya pasien-pasien flu tersebut oleh karena sebagian orang-orang tersebut telah mengalami kematian. Yaitu, orang-orang tua yang mendapatkan vaksinasi Influenza.

Yang paling tidak bisa diterima adalah dengan mengatakan bahwa flu yang terjadi bukan oleh karena kegagalan vaksinasi Influenza. Tetapi oleh karena virus-virus lain yang berada di saluran nafas bagian atas (flu like syndrome) . Sebab gejala flu akibat virus Influenza hanyalah 20% dari flu like syndrome.[79] Bila hanya 20% disebabkan oleh virus Influenza, maka anjuran untuk vaksinasi Influenza, seharusnya tidak dilakukan. Oleh karena hanya 1/5 kemungkinan dia tidak terkena flu. Dan kemungkinan akan jadi lebih kecil lagi bila virus Influenza setiap tahunnya selalu berubah-ubah tipe.

Terlepas dari itu semua, pada ilmu saya, secara teoritis vaksinasi Influenza tidak berguna. Atau mereka yang divaksin, tetap akan memberikan gejala flu, betapapun antara vaksin dan virus ada kecocokan. Atau virus tidak berubah tipe.

Vaksin Influenza secara injeksi, memang akan menimbulkan memori, terhadap virus yang akan menyerang kembali (sesuai dengan vaksinnya). Akan terbentuk limposit B memori dan limposit T memori yang dapat bertahan lama. Tetapi pembentukan IgM dan IgG, tidaklah berefek banyak pada infeksi virus disaluran napas bagian atas. Yang paling befungsi disitu adalah IgA. Dan pada sel-sel disaluran napas bagian atas, telah ada sel plasma sendiri/sel plasma lokal, yang akan membentuk IgA, IgG dan IgM. [51] Atau limposit B memori kurang diperlukan untuk membentuk IgA. Rusaknya sel plasma lokal ini dapat menyebabkan defisiensi IgA, walaupun IgG dan IgM yang diproduksi oleh limposit B memori normal. [80]

Fungsi IgA, adalah menahan masuknya virus kedalam sel-sel targetntya di saluran napas bagian atas. Selain itu juga memacu penghancuran virus oleh sel-sel Innate. IgA pun mampu melakukan pengikatan pada anti gen untuk kemudian dihancurkan oleh makrofag. IgA lah yang terutama berfungsi untuk menghancurkan virus disaluran napas bagian atas (bukan IgG dan IgM). IgG dan IgM, mungkin saja terdapat di mukosa saluran napas bagian atas (ekstra vaskular) [51]. Tetapi jumlahnya sedikit dan fungsinya adalah membantu fungsi dari IgA. [51,81,82]

Sedangkan limposit T memori memang akan mempercepat limposit T sitotoksik untuk membunuh virus Influenza didalam sel melalui mekanisme ADCC. Walaupun hal itu berguna, tugas itu sebenarnya telah dilakukan oleh sel inate Natural Killer yang dapat membunuh virus Influenza didalam dan diluar sel.

Pada prakteknya vaksinasi Influenza dianggap berhasil bila terjadi peningkatan yang signifikan IgG dan limposit T sitotoksik setelah penyuntikan. [83] Tapi berdasarkan apa yang telah dituliskan sebelumnya, hal tersebut tidak dapat mencegah seseorang untuk terlindungi dari serangan infeksi virus Influenza. Sebab yang peling dibutuhkan untuk menghancurkan virus Influenza adalah IgA dan sel Natural Killer.

Cara terbaik untuk memberikan vaksinasi sebenarnya disesuaikan dengan bagaimana virus tersebut masuk kedalam tubuh manusia. [51] Karena itu cara terbaik adalah melalui aerosol intra nasal. Tetapi cara itu sulit untuk menimbulkan terjadinya limposit B memori dan limposit T memori yang bertahan lama. Kemampuan memori pun dengan cara intra nasal seperti itu adalah singkat. Lebih kurang hanya dua bulan saja [51]

Kesimpulan dari vaksinasi Influenza ini adalah dengan virus yang sama atau tanpa berubah-ubah tipe, ternyata vaksinasi Influenza tidak memberikan perlindungan dari serangan Flu pada seseorang yang telah divaksin Influenza.

Bagaimana dengan vaksinasi CoVID-19 ?.

Gejala Klinik dari CoVID-19 mayoritas adalah sama dengan Influenza. Sel target CoVID-19, juga terletak pada saluran napas bagian atas. Kerusakan berat pada paru-paru dan organ-organ tubuh lainnya juga sulit terjadi. Karena itu, mengambil analogi dari vaksinasi Influenza pada CoVID-19 adalah suatu hal yang rasional.

Bedasarkan hal itu vaksinasi CoVID-19 tidak dapat melindungi orang tersebut dari serangan CoVID-19, berkali-kali. Terlebih lagi bila suatu saat nanti virus CoV-2 Wuhan itu sering mengalami perubahan tipe seperti virus Influenza. Dengan demikian baik divaksin ataupun tidak seseorang dapat mengalami serangan CoVID-19 berkali-kali. Tapi itu tidak usah dirisaukan. Karena serangan CoVID-19 hanyalah ringan saja. Seperti Influenza atau mikroba-mikroba lain yang menyebabkan gejala ISPA. Tidak ada badai sitokin seperti yang telah dituliskan didepan. Bila CoV-2 Wuhan bermutasi, sehingga dapat menghancurkan paru-paru, maka itu berarti CoV-2 Wuhan itu telah berubah menjadi SARS-CoV atau MERS-CoV atau mungkin saja virus RNA yang ditemukan pada pemeriksaan sebenarnya RT-PCR itu sebenarnya adalah SARS-CoV atau MERS-CoV. Berarti vaksin yang dicari adalah vaksin untuk melawan SARS-CoV atau MERS-CoV. Suatu hal yang sampai saat ini, belum berhasil dilakukan.

Kemungkinan adanya Antibody Dependent Enhancement (ADE) seperti pada infeksi Dengue tidak mungkin terjadi. [84] Betapapun suatu saat nanti terdapat bermacam-macam tipe dari CoV-2 Wuhan. Adanya antibody non neotralizing disirkulasi darah tidak mungkin terjadi. Karena sel target dari virus Dengue terdapat pada saluran napas bagian atas. Karena penularan CoV-2 Wuhan melalui droplet infection. Sedangkan terjadinya mekanisme ADE pada saluran napas bagian atas juga tidak mungkin terjadi. Karena yang berfungsi disitu adala IgA. Bilapun terjadi, dimana IgA gagal menetralisir CoV-2 Wuhan tipe B akibat telah adanya antibody neutralizing terhadap CoV-2 Wuhan tipe A, sehingga menyebabkan banyaknya sel Goblet di saluran napas bagian atas yang rusak dan berimbas pada turunnya CoV-2 Wuhan tipe B ke saluran napas bagian bawah atau Alviolus paru-paru, maka CoV-2 Wuhan tipe B tersebut telah berubah menjadi SARS-CoV atau MERS-CoV. Atau perlu dicurigai kemungkinan virus RNA yang di periksa denga RT-PCR itu sebenarnya adalah SARS-CoV atau MERS-CoV (bukan CoV-2 Wuhan tipe B).

Dengan apa yang telah dituliskan diatas, maka Herd Imunity tidak mungkin terjadi. Kekebalan dan kematian pada seseorang akibat berkumpul beramai-ramai tidak mungkin terjadi. Kekebalan tidak terjadi oleh karena droplet Infection dari CoV-2 Wuhan itu, hanya akan menimbulkan limposit B memori dan limposit T memori bertahan selama dua bulan saja. Setelah itu orang tersebut dapat terinfeksi CoV-2 Wuhan kembali. IgM dan IgG mungkin saja didapatkan pada sirkulasi darah seperti apa yang ditemukan oleh Huan Ma dkk. [85] Tapi IgM dan IgG tersebut tidaklah menyebabkan orang tersebut menjadi terlindungi dari infeksi CoV-2 Wuhan. Sebab yang sangat berperan dalam infeksi CoV-2 Wuhan adalah IgA yang dibentuk oleh sel-sel plasma lokal yang terdapat pada saluran napas bagian atas dan sel Natural Killer (seperti yang telah diterangkan diatas). Atau adanya IgG positif dan IgM positif yang dianalogikan dengan pemeriksaan rapid test yang positif, bukanlah suatu hal yang menakutkan. Tidak peduli apakah orang tersebut bergejala atau tidak.

Kematian pun tidak terjadi, karena infeksi CoV-2 Wuhan hanya memberikan gejala ringan saja, dengan alasan-alasan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. IgM dan IgG menjadi antibodi utama dalam melawan virus CoV-2 Wuhan, bila CoV-2 Wuhan telah sampai ke paru-paru. Pada keadaan berat seperti itu, penulis setuju bahwa pemberian plasma konvalesen akan memberikan hasil yang sama seperti bila diberikan pada SARS CoV atau MERS CoV [86].

Kesimpulan dan Harapan Setelah Membaca Artikel Ini

Bukan ban kempes yang menyebabkan mobil dunia ini tersendat jalannya, tetapi vertigo dari pengendaranyalah yang membuat hal tersebut terjadi. Pemahaman tentang CoVID-19 yang salah, itulah yang harus diluruskan.

Gejala klinik CoVID-19, 99% hanyalah ringan saja. Hal itu akibat sel target terdapat pada sel Goblet di saluran nafas bagian atas. Karena itu CoVID-19, sulit memberikan kerusakan dan gangguan pada paru-paru. Lain halnya dengan SARS CoV dan MERS CoV. Sel targetnya terletak pada saluran nafas bagian bawah yaitu pada sel pneumokist-2, yang berbatasan langsung dengan alveolus. Oleh karena itu SARS CoV dan MERS CoV mudah membuat kerusakan atau gangguan pada paru-paru. Dengan alasan itu nama yang tepat untuk virus penyebab CoVID-19 ini bukanlah Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS CoV 2), tetapi Corona Virus 2 Wuhan. Sesuai dengan asal CoVID-19 ini.

Tidak ada badai sitokin akibat infeksi CoV-2 Wuhan ini. Oleh karena gangguan yang dihasilkan oleh CoV-2 Wuhan maksimal adalah seperti SARS CoV atau MERS CoV. Jadi sitokin yang dihasilkan oleh CoV-2 Wuhan maksimal adalah sebanyak sitokin yang dihasilkan oleh SARS CoV atau MERS CoV.

 Mengatakan bahwa CoV-2 Wuhan dapat menyerang jantung,ginjal,otak,saluran pencernaan,dll, tidaklah dapat diterima. Karena hal tersebut didasarkan pada penyuntikan CoV-2 Wuhan ke dalam tubuh tikus. Sehingga CoV-2 Wuhan langsung berada didalam darah. Dilain pihak CoV-2 Wuhan masuk ke manusia melalui saluran napas bagian atas. Yaitu melalui droplet infection.

Sifat permissif dari sel reseptor manusia dan tropismus dari virus, menyebabkan CoV-2 Wuhan hanya dapat hidup di sel Goblet saluran pernapasan bagian atas (betapapun ACE-2 dapat menyebabkan masuknya CoV-2 Wuhan ke seluruh sel dari organ-organ yang mengandung ACE-2 dipermukaannya). Tidak adanya kerusakan histopatologis yang signifikan pada organ-organ di dalam tubuh manusia (betapapun CoV-2 Wuhan dapat masuk ke situ), membuktikan bahwa CoV-2 Wuhan bukanlah penyakit seribu muka. Dengan tidak terbuktinya kerusakan pada organ-organ tersebut setelah dimasuki CoV-2 Wuhan, menyebabkan kompleks imun yang luas tidak terjadi. Sehingga tidak terjadi badai sitokin. Atau sitokin maksimal yang terjadi pada infeksi CoV-2 Wuhan adalah setara dengan SARS-CoV atau MERS-CoV saja seperti yang telah disebutkan diatas. Berdasarkan itu semua badai sitokin yang dikatakan dapat terjadi akibat infeksi CoV-2 Wuhan, tidak dapat diterima.

Bila patogenesis dan patofisiologi itu disadari, maka kehidupan dunia harus kembali normal seperti biasa. Tak perlu pemeriksaan yang massif untuk mencari-cari masyarakat yang terkena CoVID-19. Pakai masker atau tidak terserah orang tersebut. Bila dia takut terkena flu, silahkan pakai masker. Bila tidak, silahkan tanpa masker. Yang jelas pakai masker berjam-jam, akan membuat sedikit atau banyak CO2 yang telah dilepaskan terhisap kembali. Dan ini sangat berbahaya bagi orang-orang lanjut usia. Sebab pada orang-orang tersebut biasanya telah menderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Dimana pada PPOK gangguan utamanya, adalah ekspirasi atau gangguan mengeluarkan CO2. Pemakaian APD level 3, pada saat memeriksa pasien CoV-2 Wuhan positif, tidak diperlukan. Cukup dengan masker bedah saja.  Semua anak-anak harus cepat bersekolah kembali dan bermain dengan teman-temannya. Sebab bermain-main dengan teman-temannya adalah penyebab utama tumbuhnya kecerdasan pada anak-anak. Dengan tertolaknya, badai sitokin dan kemungkinan kerusakan bermacam-macam organ akibat terinfeksi CoVID-19, maka kematian akibat Herd Imunity tidak akan terjadi bila mereka bersekolah kembali saat ini.

Pandemi CoVID-19, atau viral load tinggi tidak ada lagi. Yang ada adalah bertambahnya CoVID-19 positif, akibat masifnya pemeriksaan pada masyarakat. Baru dapat diperkirakan adanya pandemi CoVID-19, bila terjadi kematian yang masif dan hampir bersamaan serta terus menerus pada orang-orang yang telah melewati life expectancynya. Dilain pihak bila orang-orang HIV positif, yang tidak melakukan pengobatan dengan baik sanggup bertahan terhadap serangan CoVID-19, maka diyakini orang-orang dengan komorbid yang banyak atau orang-orang yang telah melewati life expectancynya juga akan sanggup bertahan terhadap serangan CoVID-19.

Horor yang dilakukan oleh media massa bahwa CoVID-19, penyakit yang mematikan harus dihentikan. Horor itulah pemicu kematian pada orang-orang dengan CoVID-19 positif. Padahal sejatinya, kematian itu bukanlah disebabkan oleh CoVID-19. Tetapi oleh karena bakteri, atau virus lainnya seperti virus Dengue, dan penyakit kronik dari orang tersebut. Protokol jenazah secara CoVID-19 pada pasien-pasien yang meninggal dengan swab tenggorokan positif CoV-2 Wuhan adalah suatu kezoliman dan harus dihentikan pula. Tak ada lagi rumah sakit CoVID dan non CoVID. Pembagian seperti itu hanya menyebabkan rumah sakit CoVID penuh dan rumah sakit non CoVID kosong. Atau secara tidak langsung berarti seluruh rumah sakit adalah rumah sakit CoVID. Rumah sakit non CoVID kosong oleh karena rakyat takut datang kerumah sakit tersebut. Takut dianggap menderita CoVID-19 yang berujung pada isolasi dan protokol jenazah CoVID-19.

Tidak ada obat untuk CoVID-19, kecuali simptomatik saja. Terapi imunoglobulin bisa dipertimbangkan untuk diberikan bila terjadi kerusakan dan gangguan paru-paru yang berat. Walaupun demikian pada keadaan seperti itu, mutlak diteliti ulang apakah virus Corona yang terdeteksi oleh RT-PCR itu CoV-2 Wuhan atau SARS CoV ataukah MERS CoV. Seyogyanya setiap ada kerusakan dan gangguan paru-paru berat, analisis secara optimal akan kemungkinan bakteri atau virus lain, seperti virus Dengue sebagai penyebabnya harus di lakukan.

Semua aktifitas harus kembali normal, termasuk juga pemilihan presiden Amerika Serikat secara langsung pada tempat-tempat pemungutan suara. Trump tidak usah membuat vaksin CoVID-19 supaya hal tersebut dapat terlaksana. Karena limposit B memori dan limposit T memori yang tercipta tidak dapat melindungi seseorang yang telah divaksin CoVID-19,untuk tidak terkena CoVID-19 kembali. IgA yang dibentuk oleh sel plasma lokal yang berada dimukosa saluran napas bagian atas adalah antibodi utama yang berperang melawan CoV-2 Wuhan. Limposit B memori tidak dapat mengganti fungsi plasma lokal itu secara baik. Fungsi limposit T sitotoksik yang dibentuk oleh limposit T memori,pada umumnya telah dilakukan dengan baik oleh sel Natural Killer disaluran napas bagian atas. Artikel ini lebih kuat ketimbang vaksin yang dipaksa untuk keluar bulan Oktober ini. Bila penentu kebijakan dalam pemilihan presiden tidak dapat menolak kebenaran artikel ini, maka rakyat AS berhak keluar rumah untuk memilih presiden mereka.

Semoga artikel ini dapat membebaskan semua manusia dibumi dari azab yang mereka buat sendiri. Aamiin ya rabbal ‘aalamiin.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Update coronavirus disease: clinical features. 2019, accessed 01 September 2020 from https://www.update.com/contents/coronavirus-disease-2019-covid-19-clinical-features
  2. Oran DP and Topol EJ. Prevalence of asymptomatic sars-cov-2 infection: A narrative review. Annals of Internal Medicine. 2020;173(5):362-367. https://doi.org/10.7326/M20-3012
  3. Tabata S, Imai K, Kawano S, Ikeda, et all. Clinical characteristics of covid-19 in 104 people with sarss-cov-2 infection on the diamond princess cruise ship: A retrospective analysis. The lancet infectious diseases.2020;20(9):1043-1050.
  4. Worldmeter covid-19 coronavirus pandemic. 2020, accessed 10 September 2020 from  https://www.worldometer.info/coronavirus/coronavirus-cases/.
  5. Elfein J. Covid-19 death rates in new york city as of september 5 2020. 2020, accessed 10 September 2020 from https://www.statista.com/statistics/1109867/coronavirus-death-rates-by-age-new-york-city/
  6. World Health Organization. Cumulative number of reported probable cases of sars. 2002, accessed 01 September 2020 from https://www.who.int/csr/sars/country/2003_07_11/en/
  7. World Health Organization. Middle east respiratory syndrome coronavirus (mers-cov). 2019 accesed 01 September 2020 from https://www.who.int/emergencies/mers-cov/en/.
  8. Zaim S, Chong JH, Sankaranarayanan V, Harky A. Covid-19 and multiorgan response. Current problems in cardiology. 2020;45(8):100618. https://doi.org/10.1016/ j.cpcardiol2020.100618
  9. Nature. Progress report on the coronavirus pandemic. 2020, accesed 19 Agustus 2020 from https://www.nature.com/articles/d41586-020-02414-1
  10. World Health Organization. Covid-19 and the use of angiotensin-converting enzyme inhibitors and receptors blocker. 2020, accessed 07 Mei 2020 from https://www.who.int/ news-room/commentaries/detail/covid-19-and-the-use-of-angiotensin-converting-enzyme-inhibitors-and-receptor-blockers.
  11. Coperchini F, Chiovato L, Croce L, Magri F, Rotondi M. The cytokine storm in covid-19: An overview of the involvement of the chemokine/chemokine receptor system. Cytokine & growth fator review. 2020;53:25-32. https://doi.org/ 10.1016/j.cytogfr.2020.05.003
  12. Ragab D, Salah EH, Taeimah M, Khattab R, Salem R. The covid 19 cytokine storm: What we know so far. Frontiers in immunology. 2020;11:1446. https://doi.org.10.3389/fimmu.2020.01446
  13. Mehta P, McAuley DF, Brown M, Sanchez E,Tattersall RS, Manson JJ et all. Covid-19: Consider cytokine storm syndromes and immunosuppression. Lancet (London, England). 2020;395(10229):1033-1034. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30628-0
  14. Neha P. The ‘great imitator’: How covid-19 can look like almost any condition. Medicine Net. 2020, accessed 26 April 2020 from https://www.medicinenet.com/ the_great_imitator_covid-19_coronavirus-news.htm.
  15. Neha P. The great invander: How covid-19 attacks every organs. Webmd. 2020, accessed 9 September 2020 from https://www.webmd.com/lung/news/20200423/the-great-invader-how-covid-attacks-every-organ
  16. Adityo S. Clinical presentation of covid-19 “the thousand face disease”. Papdi webinar. Divisi penyakit tropik dan penyakit dalam. FKUI. 2020
  17. Smith H. Mechanism of viral patogenicity. Departemen of microbiology university of birmingham. 1972;36(3). https://ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC378451/pdf/ bactrev00078-0035.pdf
  18. Viral infection and hosts. accessed 9 September 2020 from https://courses.lumenlearning.com/boundless-biology/chapter/virus-infections-and-hosts/
  19. Albrecht T, Fons M, Boldogh I, et all. Effects on cell. Medical Microbiology. Galveston (TX): University of texas medical branch at galveston. 1994;4
  20. Viral attachment to host cell, accessed 9 September 2020 from https://viralzone.expasy.org/956?outline=complete_by_protein
  21. The viral live cycle, accessed 9 September 2020 from https://courses.lumenlearning.com/ microbiology/chapter/the-viral-life-cycle/
  22. Baron S, Fons M, Albrecht T. Viral Pathogenesis. Medical Microbiology. Galveston (TX): University of texas medical branch at galveston. 1994;4;45
  23. Woodham AW, Skeate JG, Sanna AM, Taylor, et all. Human immunodeficiency virus immune cell receptors, coreceptor, and cofactors: Implications for prevention and treatment. AIDS paitent care and STDs. 2016;30(7):291-306. https://doi.org/10.1089/ apc.2016.0100
  24. Hamming I, Times W. Tissue distributed of ace 2 protein, the functional receptor for sars corona virus: A first step in understanding sars pathogenesis. Journal of Pathology.2004
  25. Uri K, Fagyas M, Kertész A, Borbély A, Jenei C, Bene O, et all. Circulating ace 2 activity correlates with cardiovascular disease development. Journal of the renin-angiotensin-aldosterone system. 2016;17(4). https://doi.org/10.1177/1470320316668435
  26. Fountain JH, Lappin SL. Physiology renin angiotensin system. Statpearls publishing.2020 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470410
  27. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, and Lu X. Mollecular Immune pathogenesis and diagnosis of Covid-19. Journal of Pharmaceutical Analysis. April 2020; 10(2):102-108. accessed 9 september 2020 from https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/ S2095177920302045
  28. Mason, JR. Pathogenesis of Covid-9 from A Cell Biology Perspective. European Respiratory Journal. 2020; 55.https://erj.ersjournals.com/content/55/4/2000607
  29. Mossel EC, Wang J, Jeffers S, et all. SARS CoV Replicates in Primary Human Alveolar Type II Cell Cultures but Not in Type I-Like Cells. Elsevier. March 2008; 372(1):127135, accessed 1 maret 2008 from https://www.sciencedirect.com/science/ article/pii/S0042682207006411
  30. William CS. Medical Definition of Pneumocyst. MedicineNet. 2020, accessed  9 september 2020 from https://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=33174
  31. Christopher AF. Type 2 Pnuemocyste : Type II Pneumocyste Are Thicker With A More Spherical Shape and Are Responsible For The Production and Secretion of The Pulmonary Surfactant, accessed  9 september 2020 from https://www.sciencedirect.com/ topics/biochemistry-genetics-and-molecular-biology/type-ii-pneumocyte
  32. David A, Holf H, Peter Z. Mollecular Mechanism of Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Respiratory Research. 2005;6(8),  accessed  9 september 2020 from  https://respiratory-research.biomedcentral.com/articles/10.1186/1465-9921-6-8
  33. Wenhui Li, Michael j. Angiotensin-Converting Enzyme is Functional Receptor for SARS Coronavirus. 2003, accessed  9 september 2020 from https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/ 14647384/
  34. Haibo Z, Josef MP, Yimin L, Nanshan Z, Arthur SS. Angiotensin-Converting Enzyme 2 as A Sars Cov 2 Receptor Molecular Mechanism and Potential Therapeutic Target. Pubmed. 2020 Apr;46(4):586:590, accessed  9 september 2020 from https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32125455/
  35. World Health Organization. Transmission of SARS CoV 2 Implication for Infection Prevention Precaution. 2020, accessed  9 september 2020 from https://www.who.int /news-room/commentaries/detail/transmission-of-sars-cov-2-implications-for-infection-prevention-precautions.
  36. Wardon S, Ni H, Christophe B, et al. SARS-CoV-2 Entry Factors Are Highly Expressed in Nasal Epithelial Cells Together with Innate Immune Genes. Nature Medicine. 2020 Apr;26:281-287, accessed  9 september 2020 from https://www.nature.com/articles/ s41591-020-0868-6
  37. Soeren L, Roland E. Timo T, et al. Sars-Cov-2 Receptor Ace 2 and TMPRSS2 Are Primarily Expressed in Bronchial Transient Secretory. The EMBO Journal. 2020 May;39(10):e105114, accessed  9 september 2020 from https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov /32246845/
  38. Linlin B, Wei D. The Pathogenicity of Sars-Cov-2 In hACE 2 Transgenic Mice. Nature Research. 2020 July; 583(7818):1-6, accessed  9 september 2020 from https://www.researchgate.net/publication/341207265_The_pathogenicity_of_SARS-CoV-2_in_hACE2_transgenic_mice
  39. Ruangjirachuporn W, Boonpucknavig S, Nimmanitya S. Circulating Immune Complexes in Serum from Patients with Dengue Haemorrhagic Fever. Clinical and Experimental Immunology. 1979;36(1), 46–53.
  40. Nascimento EJ, Silva AM, Cordeiro MT, et al. Alterternative Complement Pathway Deregulation Is Correlated With Dengue Severity.2009 Aug;4(8):e6782, accessed 13 September 2020 from http://ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PM2728508
  41. Chaturvedi UC, Agarwal R, Elbishbishi EA, Mustafa AS. Cytokine cascade in Dengue hemorrhagic fever: implications for pathogenesis. FEMS Immunol Med Microbiol. 2000; 28:183-188
  42. Anon S, Anuja M, Alan LR. Immune-mediated cytokine storm and its role in severe Dengue. Semin Immunopathol. 2017; 39(5):563-574. doi:10.1007/s00281-017-0625-1
  43. A. Raj K, Sriprasad M, Birendra K. Cytokine Signature Associated with Disease Severity in Dengue. Viruses. 2019; 11(1), 34. Accessed 21 September 2020. https://www.mdpi.com/1999-4915/11/1/34.
  44. Talib SH, Bhattu S, Bhatt R, Deshpande S, & Dahiphale, D. Dengue fever triggering systemic lupus erythematosus and lupus nephritis: a case report. International medical case reports journal, 2013; 6, 71–75.
  45. Tiago FP, Ada MB, Carlos AB, et al. The pathology of severe Dengue in multiple organs of human fatal cases: histopathology, ultrastructure and virus replication. PloS one. 2013; 9(4), e83386.
  46. Adrian YM, Ratana LT, Waly TM. Dengue Myocarditis, A Neglected Complication Of A Pravelent Tropical Disease : A Case Report. European Heart Journal Supplements. 2017; 19 (Supplement E), E53-E73.
  47. Taufiq MW, Ria B, Herdiman T, Budi R. Multi Organ Complication Due To Dengue Virus Infection (Kidney Heart And Liver) That As Treated With Heparinization And Hemodyalisis. http://dhf-revolutionafankelijkheid.net/
  48. Nihal I, Tunc A. Immune Respons to SARS Cov, MERS-Cov, and SARS-CoV-2. Cell Biology and Translational Medicine, 2020; Volume 9.
  49. Chaolin HYeming WXingwang L, et al. Clinical Features Of Patients Infected with 2019 Novel Coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020; 395(10223):497-506.
  50. Abul KA, Andrew HL, Shiv P. Basic Immunology : Functions And Disorders of The Immune System  3rd Edition. Philadelphia, Pa. Saunders, 2011.
  51. Ivan MR, Roitt’s Essential Immunology (Essentials) 9th Edition. 1997
  52. Gralinski LE, Sheahan TP, Morrison TE, et al. Complement Activation Contributes to Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus Pathogenesis. MBio. 2018;9(5) e01753-18. Published 2018 Oct 9. doi:10.1128/mBio.01753-18.
  53. Risitano AM, Mastellos DC, Huber LM, et al. Complement as A Target In Covid-19?. Nat Rev Immunol. 2020 June:20(6):343–344. Accessed 13 September 2020, https://doi.org/10.1038/s41577-020-0320-7
  54. Noris M, Benigni A, Remuzzi G. The Case of Complement Activation in COVID-19 Multiorgan Impact. Kidney Int. 2020;98(2):314-322. doi:10.1016/j.kint.2020.05.013
  55. Cooper T, Woodward B, Alom S, Harky A. Coronavirus Disease 2019 (COVID‐19) Outcomes in HIV/AIDS Patients: A Systematic Review. HIV Med. 2020 July;21:567-577. doi:10.1111/hiv.12911
  56. Su YB, Kuo MJ, Lin TY, et al. Cardiovascular Manifestation and Treatment in COVID-19. J Chin Med Assoc. 2020;83(8):704-709. doi:10.1097/JCMA.0000000000000352
  57. Valizadeh B, Baradaran A, Mirzazadeh A BL. Coronavirus-nephropathy; Renal Involvement in COVID-19. J Ren Inj Prev Coronavirus-Nephropathy. 2020;9:3–4. doi:10.34172/jrip.2020.18.
  58. Gu J, Han B, Wang J. COVID-19: Gastrointestinal Manifestations and Potential Fecal-Oral Transmission. Gastroenterology. 2020;158(6):1518-1519. doi:10.1053/j.gastro. 2020.02.054
  59. Sachdeva M, Gianotti R, Shah M, et al. Cutaneous manifestations of COVID-19: Report of Three Cases and A Review of Literature.  J Dermatol Sci. 2020;98(2):75-81. doi:10.1016/j.jdermsci.2020.04.011
  60. Montalvan V, Lee J, Bueso T, De Toledo J, Rivas K. Neurological manifestations of COVID-19 and Other Coronavirus Infections: A Systematic Review. Clin Neurol Neurosurg. 2020;194:105921. doi:10.1016/j.clineuro.2020.105921
  61. Tian S, Xiong Y, Liu H, et al. Pathological Study of The 2019 Novel Coronavirus Disease (COVID-19) Through Postmortem Core Biopsies. Mod Pathol. 2020;33(6):1007-1014. doi:10.1038/s41379-020-0536-x
  62. Elhadi, Momen A, Abdulhadi et all. Multi Organ Failure After Acute Kidney Injury in Patient With HIV and Covid-19. 2020. Elsevier. 2020: 37. doi:org/ 10.1016/j.nmni.2020.100742
  63. Mohammad SK. Chloroquine and Hydroxychloroquine in Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Facts, Fiction and The Hype: A Critical Appraisal. International Journal of Antimicrobial Agents. Elsevier. 2020.
  64. Shahamah SM. et al. Clinical Efficacy of Antivirals Against Novel Coronavirus (COVID-19): A review. Journal of Infection and Public Health.2020;13(9).
  65. Mahmoud Y, Alireza Z, Kosar MA, et al. Antiviral Therapy in Management of COVID-19: a Systematic Review on Current Evidence. Arch Acad Emerg Med. 2020 Apr;8(1):e45.
  66. Na L, Zhijun J. The Application of Corticosteroids in COVID-19: A Two-Edged Sword. Journal of Translational Internal Medicine. 2020;8(2).
  67. Makoto T, Kazuya I, Kodai K, Yasuhiro G, Moritaka S. The Negative Effect of Initial High-Dose Methylprednisolone and Tapering Regimen for Acute Respiratory Distress Syndrome: A Retrospective Propensity Matched Cohort Study. European Respiratory Journal. 2017 June;21(1):135.
  68. Jared R, Navaneeth N, Pinki JB. Use of Tocilizumab for COVID-19-Induced Cytokine Release Syndrome. A Cautionary Case Report. 2020;158(1):E15-E19.
  69. Cortegiania A, Ippolitoa M, Greco M, et al. Rationale and Evidence on The Use of Tocilizumab in COVID-19: A Systematic Review. Journal Pumonology. 2020.
  70. Raymond MJ, Joseph MV. Dexamethasone in The Management of Covid-19. BMJ. 2020;370:M2648.
  71. Paul Marik, et al. EVMS Critical Care Covid-19 Management Protocol. EVMS Medical Group. 2020.
  72. Xiaoling X, Mingfeng H, Tiantian L, et al. Effective Treatment of Severe COVID-19 Patients with Tocilizumab. Proceeding of TheNational Academy of Sciences. 2020;17(20).
  73. Wibke S, Jurgen B, Richard B. Cytokines in Sepsis: Potent Immunoregulators and Potential Therapeutic Targets An Updated View.Mediators of Inflammation. 2013.
  74. Waly TM, Tambunan KL, Nelwan RHH, Herdiman, et all. The Role of Platelet Antibody and Bone Marrow in Adult Haemoragic Fever with Trombositopenia. Med J Indonesia. 1998;7:242-8.
  75. Waly TM. Vaksinasi DBD Untung atau Rugi?. Banda Aceh, Indonesia 14-16 Juni 2012. Prosseding Kongres Nasional PETRI XVIII. Medan : USU Press. 2012;144-150
  76. Waly TM. Intermezzo : The Death of 100,000 US People and The Horror of COVID-19 (The COVID-19 pandemic has been Over). http://dhf-revolutionafankelijkheid.net/
  77. Polan GA. Influenza vaccine failure: failure to protect or failure to understand?. Expert Rev Vaccines. 2018;17(6):495-502. doi:10.1080/14760584.2018.1484284
  78. CDC Vaccine Effectiveness: Vaccine Effectiveness: How Well Do The Flu Vaccines Work?. CDC. 2020.
  79. Samsuridjal D, Irwin T. Influenza. Panduan Imunisasi pada Orang Dewasa Tahun 2012 FKUI. Jakarta: 123-141.
  80. Ajay P, Ishwarlal J. Biochemistry, Immunoglobulin A (IgA). Starpearls. 2020.
  81. Andrea C, Kang C, et all. Rethinking Mucosal Antibody Responses: IgM, IgG and IgD join IgA. Nature Reviews. 2020.
  82. Cerutti A, Chen K, Chorny A. Immunoglobulin responses at the mucosal interface. Annu Rev Immunol. 2011;29:273-293. doi:10.1146/annurev-immunol-031210-101317
  83. Taia TW, Stylianos B, Jeffrey VR. Immunological Responses to Influenza Vaccination: Lesson for Improving Vaccine Efficacy. Curr Opin Immunol. 2018 Aug; 53:124-129.
  84. Henning U, Micheli MP, Atilla T. Dengue fever, COVID-19 (SARS-CoV-2) and Antibody-Dependent Enhancement (ADE): A Prespective. Cytometry. 2020 Jul;97(7):662-667.
  85. Huan M, Weihong Z, et al. Serum IgA, IgM, and IgG Responses in COVID-19. Cellular and Molecular Immunology. 2020 May; 17:773-775.
  86. Nguyen AA, Habiballah SB, Platt CD, Geha RS, Chou JS, McDonald DR. Immunoglobulins in The Treatment of COVID-19 Infection: Proceed with Caution!. Clin Immunol. 2020;216:108459. doi:10.1016/j.clim.2020.108459