Intermezzo: Kematian 100 Ribu Rakyat AS Dan Horor COVID-19 (Pandemi COVID-19 Telah Selesai)

Horor Covid-19 yang menghantui dunia ini semakin menjadi-jadi. Dan yang terakhir dijadikan senjata dari para pembuat film horor itu adalah kematian lebih dari 100 ribu orang di Amerika Serikat. Yang dikatakan penyebabnya karena Covid-19. 

Kelihatannya  para pembuat film horor itu menginginkan supaya Trump tetap memenjarakan rakyatnya sampai bulan September. Di lain pihak Trump telah memerdekakan rakyatnya, pada hampir seluruh negara bagian Amerika Serikat (tinggal empat negara bagian saja yang belum merdeka). 

Walaupun demikian tekanan media, yang dimiliki oleh para pembuat film horor itu, telah menyebabkan Trump untuk mengadakan upacara bendera setengah tiang sebagai tanda berduka atas tewasnya 100 ribu lebih rakyat Amerika Serikat.Diharapkan hal tersebut dapat mengurangi keresahan sebagian  rakyat AS yang ketakutan akibat berhasilnya propaganda horor yang dilakukan media-media AS.Secara implisitpun pengibaran bendera setengah tiang itu,dapat menjadi harapan bagi sebagian rakyat AS yang ketakutan itu. Harapan bahwa satu saat nanti Trump akan melockdown lagi rakyat AS sampai bulan September. Demi berkurangnya kematian akibat COVID-19.   Kerusuhan rasial yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, bukan tidak mungkin adalah rekayasa dari sutradara film horror CoVID-19 itu.

Bukan hanya AS, Indonesiapun mendapatkan tekanan untuk memenjarakan rakyatnya lebih lama lagi. Terlihat dari ditambahnya lama penjara bagi rakyat Jakarta, yang harusnya berakhir 10 Mei kemarin, menjadi 5 Juni.Bahkan mungkin saja penjara itu akan terus berlanjut sampai bulan Oktober 2020,sesuai kehendak pembuat film horor itu. Yang menariknya 2 negara paling padat di dunia,India dan Cina tidak mendapatkan tekanan dari pembuat film horor itu.

Perilaku manusia seduniapun telah diatur,bila penjara -penjara itu dibuka.Secara prinsip, perilaku yang harus dilakukan setelah penjara di buka adalah menjaga jarak,menghindari kerumunan dan memakai masker terus menerus. Pertunjukkan-pertunjukan yang memberikan kegembiraan pada masyarakat banyak,akan hilang.Sehingga stress akan meningkat dan mencapai puncaknya karena kesulitan ekonomi yang terus bertambah hari demi hari. Kegiatan keagamaan yang mengundang masyarakat banyakpun juga akan hilang (bersyukur Trump baru saja memerintahkan semua negara bagian untuk membuka lagi tempat-tempat ibadah). Sampai kemudian sutradara film itu memberikan jalan keluar pada penduduk bumi ini, bagaimana caranya supaya bisa terbebas dari COVID-19 itu.

Kata kunci dari film horror COVID-19 yang menyebabkan ketakutan itu adalah penyebaran cepat dan mudahnya terjadi kematian pada seluruh manusia yang terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Penularan bukan hanya secara droplet saja, tapi dapat pula ditularkan melalui apapun. Bahkan setelah pasien COVID-19 ini meninggal, dan di disinfeksi, mayat itupun masih dapat menularkan COVID-19. Saya telah membuat tulisan untuk membantah itu (http://renungan-tmudwal.com/tinjauan-terhadap-cara-penularan-covid-19-usaha-untuk-menghilangkan-kepanikan-dunia/). Tetapi mainstream salah yang telah tertanam kuat pada masyarakat bahkan dokter sedunia sepertinya tidak dapat dirubah.

Teori bahwa, semua penyakit bisa disebabkan oleh COVID-19 (The Thousand Faces Disease) juga telah menjadi mainstream yang tertanam kuat pada seluruh masyarakat dunia begitupun para dokternya. Betapapun saya telah membantah itu dengan membuat dua tulisan (http://renungan-tmudwal.com/pengaruh-cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/, http://renungan-tmudwal.com/diagnosis-and-therapy-of-covid-19/).

Ketakutan akan terinfeksi dan kematian menyebabkan para pemimpin negara sedunia melakukan pemeriksaan masif pada rakyatnya. Demi memutus rantai infeksi. Padahal makin banyak diperiksa, maka jumlah positifnya akan makin bertambah. Atau penjara untuk rakyat negara tersebut akan terus ada.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menganalisis fakta angka kematian akibat COVID-19.

Tabel. Angka kematian di Amerika Serikat (sumber: https://data.cdc.gov/NCHS/Provisional-COVID-19-Death-Counts-by-Sex-Age-and-S/9bhg-hcku 20/05/2020)

Saya kesulitan mendapatkan data terbaru dari kematian rakyat Amerika Serikat akibat COVID-19 yang telah tersusun berdasarkan kelompok umur. Yang saya dapatkan adalah laporan CDC tanggal 20 Mei 2020 seperti yang terlihat pada tabel di atas.

            Dari tabel CDC tanggal 20 Mei itu kita mendapatkan jumlah kematian akibat COVID-19 sebanyak 68.998 orang. Dan bila kita melihat worldometer AS, maka kematian 68.998 itu terjadi pada tanggal 3 Mei 2020. Dan pada tanggal 3 Mei 2020 itu, pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 178.594 orang. Jadi total pasien yang telah selesai dievaluasi sebanyak 247.592 orang. Pasien sebanyak 247.592 itu terjadi pada tanggal 2 April 2020.

            Dengan demikian angka kematian sebulan akibat COVID-19 di AS (2 April 2020 s/d 3 Mei 2020) sebanyak 68.998/247.592 = 27,86% dari total penderita COVID-19 (247.592 orang).

            Apakah jumlah kematian 68.998 orang itu dapat diterima? (Jumlah kematian awal / kasar)

            Angka harapan hidup rakyat AS, 78,54 tahun. Rakyat AS yang dikatakan meninggal akibat COVID-19, yang berusia 75 tahun ke atas, sebanyak 22.534 + 18.621 = 41.155 atau 59,64% dari total kematian akibat COVID-19 2 April 2020 s/d 3 Mei 2020 (68.998 orang).

            Defisiensi imun atau imunitas rendah akibat penyakit kronik yang dideritanya menyebabkan kelompok umur 75 tahun ke atas itu, 43,55%nya menderita pneumonia akibat COVID-19 (17.927 dari 41.155 orang). Keadaan akan lebih buruk lagi, bila terdapat virus haemophilus influenza. Pada tabel terlihat pada kelompok umur 75 tahun ke atas, kejadian influenza itu sebanyak 6,4% dari 41.155 orang.

            Bila pasien 75 tahun ke atas ini dianggap pantas untuk meninggal oleh karena telah sesuai dengan life expectancy-nya (dikeluarkan dari tabel) maka jumlah orang yang meninggal akibat COVID-19 sebenarnya hanya 68.998-41.155 = 27.843 orang. Atau 40,35% dari jumlah kematian awal/kasar (68.998 orang).

Bila kita menyakini bahwa umur 65 tahun telah ada penyakit kronis, maka kematian umur 0-64 tahun adalah kematian yang menjadi pertanyaan atau kematian evaluasi. Kematian evaluasi atau kematian pada orang-orang yang dianggap tanpa komorbid akibat COVID-19 adalah sebanyak 13.386 orang atau 48,87% dari kematian COVID sebenarnya (27.843 orang). Suatu angka yang sangat tinggi bila COVID-19 memang dapat menyebabkan kematian sebanyak itu pada orang-orang dengan imunitas baik.

Tapi bila kita melihat data dari CDC itu, ada hal yang menarik pada kelompok umur di bawah 65 tahun itu. Misalnya pada golongan umur 56-64 tahun. Pasien yang dinyatakan meninggal karena COVID-19 sebanyak 8.312 orang. Pasien yang meninggal oleh karena COVID-19 + pneumonia + influenza 16.283 orang. Pasien yang meninggal oleh karena COVID-19 dan pneumonia, ada 3.737. Apakah 4.133 nya meninggal oleh karena influenza?. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka meninggal oleh karena influenza. Kalau kita coba fokus pada pasien yang COVID-19 saja dengan pneumonia tanpa influenza, maka didapatkan jumlahnya sebanyak 3.737 orang. Sedangkan pasien yang COVID 19 saja tanpa pneumonia dan influenza yang meninggal sebanyak 8.312 orang. Berarti ada 4.575 orang dengan COVID-19 positif, tidak diketahui penyebab kematiannnya (55,04%). Disinilah ilmu penyakit seribu wajah itu bermain. The thousand faces disease of COVID 19, adalah teori yang di ciptakan ilmuan Cina dan di adopsi WHO. Apapun pasien yang mati, tapi RT-PCR SARS CoV-2nya positif, maka dikatakan penyebab kematiannya adalah COVID-19. Padahal mungkin saja, orang itu meninggal oleh karena syok hipovolemik, serangan astma berat, stroke, dsb.

Adanya badai sitokin pada COVID-19 telah saya tolak pada tulisan http://renungan-tmudwal.com/pengaruh-cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/. Virus mencari sel target untuk dapat hidup nyaman dan berkembang biak. Bukan mencari reseptor.

Yang ditakutkan lagi, ialah bila yang mati karena pneumonia dan COVID-19 itu, bukanlah pneumonia akibat COVID-19. Melainkan karena infeksi bakterial. Tetapi karena telah tertanam di otak para dokter itu, bahwa COVID-19 adalah virus yang ganas, dan dapat berubah menjadi berbagai macam penyakit (The thousand faces disease of COVID 19) maka penyebab infeksi bakterial diabaikan. Jadi berdasarkan keterangan di atas bila sampai 55,04% tidak diketahui penyebab kematiannya tetapi dituliskan sebagai COVID-19 ditambah lagi dengan pneumonia yang dipastikan karena COVID-19 (padahal belum tentu), ditambah lagi dengan kemungkinan mereka mendapat tekanan untuk menuliskan diagnose COVID-19 (seperti yang dikatakan oleh dr. Erikson dan dr. Mikovits), ditambah lagi angka kematian evaluasi yang tinggi, maka saya mengklaim 70-80% angka kematian yang dikatakan oleh COVID-19 itu adalah sebenarnya bukan karena COVID-19. Terlalu naif bila saya juga menambah kesalahan itu dengan apa yang di katakan dr. Andrew Kaufman, yang mengatakan bahwa pemeriksaan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang dilakukan adalah dibawah standar.

Sehingga setelah grup 75 tahun dikeluarkan dari tabel , maka angka kematian dari COVID-19 adalah 20% atau 30% x 27.843 = 5.569 – 8.353 orang saja. Dan kematian itu baru terjadi pada rakyat AS yang mengalami defisiensi imun seperti adanya penyakit-penyakit kronik, keganasan, atau mixed infection dengan penyakit lainnya. Atau jumlah kematian murni itu adalah 8,07% – 12% saja dari jumlah kematian awal / kasar (68.998 orang).

Kalau kita terapkan pada data terbaru dari Amerika Serikat (Sabtu, 30 Mei 2020 jam 15.00 WIB).

  • Jumlah kematian kasar: 104.542 orang
  • Jumlah kematian umur 75 tahun keatas: 59,64% x 104.542 orang = 62.348 orang
  • Jumlah kematian sebenarnya (tanpa umur 75 tahun keatas)=104.542–62.348=42.194 orang
  • Jumlah kematian murni (tanpa teori Cina/WHO, tanpa paksaan dan tanpa umur 75 tahun keatas = 20-30% x jumlah kematian sebenarnya = 20-30% x 42.194 = 8.439 orang – 12.658 orang

Penghancuran efek mengerikan dari film horror COVID-19.

Kata kunci untuk menunjukkan film horror COVID-19 tidak menakutkan adalah membuktikan bahwa patogenesis atau dasar bagaimana terjadinya penyakit tersebut secara ilmiah adalah tidak beralasan.

Yang dicari oleh virus adalah sel manusia, dimana dia bisa hidup nyaman dan berkembang biak. Bukan mencari reseptor atau satpam yang membolehkan dia masuk ke sel tubuh manusia atau rumah seseorang. Sel target dari SARS-CoV atau penyakit SARS, adalah sel alveoli. Dan ACE-2 yang berada di alveoli, mempermudah masuknya virus pada sel alveoli tersebut. Dan virus SARS-CoV hidup nyaman dan berkembang biak disitu. Dengan demikian gejala yang di timbulkannya adalah jelas yaitu sesak nafas berat. Atau dapat diterima bahwa sel targer dari SARS-COV adalah sel alveoli. ACE-2 memudahkan masuknya SARS-COV pada sel targetnya di alveoli tersebut. Tetapi mengatakan bahwa SARS-COV dapat hidup di semua sel tubuh  yang ada ACE-2 nya, jelas tidak dapat di terima.

ACE-2 terdapat pada sel-sel di paru-paru, sel endotel arteri, ginjal, jantung, otak dan usus. Bila ACE-2 atau organisasi satpam itu membolehkan virus SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel-sel tersebut atau rumah-rumah yang dijaga oleh organisasi satpam ACE-2, maka belum tentu SARS-CoV-2 dapat hidup di sel-sel tersebut atau rumah-rumah tersebut. Sebab milieu atau suasana serta makanan pada sel-sel setiap organ tubuh atau rumah seseorang belum tentu cocok untuk dia dapat hidup nyaman dan berkembang biak. Karena itu yang dicari oleh virus adalah sel atau rumah yang cocok baginya (sesuai dengan textbook alergi-imunologi). Selain itu pada film horor itu, mereka tidak membuktikan pada mayoritas orang-orang yang terinfeksi SARS-COV-2 bahwa enzim ACE-2 tubuh berkurang secara signifikan karena mengalami kerusakan akibat bekerja sama dengan SARS-CoV-2.

Karena gejala klinis awal dari COVID-19 hanyalah gejala ISPA saja, maka relevan bila dikatakan sel target dari SARS CoV-2 adalah pada sel-sel yang terutama berada di saluran nafas bagian atas. Bukan pada sel-sel alveoli, seperti pada SARS-CoV. Dan sangat relevan pula, bila sel goblet, sebagai salah satu benteng pertahanan kita di saluran nafas bagian atas menjadi sel targetnya. Baru bila benteng ini hancur, virus dapat masuk dengan leluasa ke saluran nafas bagian bawah atau ke paru-paru. Bila hal itu terjadi, baru akan di dapatkan hipoksia, akibat pneumonia, bahkan ARDS. Mikrotrombi, dan gangguan koagulasi seperti DIC, fibrinogen yang meningkat dan sebagainya dapat saja terjadi. Tapi semuanya itu terjadi pada orang-orang dengan imunitas rendah dan terutama pada orang-orang dengan life expectation telah terpenuhi (orang-orang lanjut usia). Dan kerusakan paru yang luas bisa terjadi dengan cepat. Sehingga pada orang-orang tersebut gejala klinik yang awalnya tidak sesak bisa tiba-tiba menjadi sesak akibat banyaknya kehancuran sel-sel alveoli di paru-paru karena apoptosis dari SARS-COV-2 dan inflamasi.

Tidak semua bakteri atau virus yang menyerang manusia memerlukan antibodi untuk menghancurkan mikroba tersebut. Betapapun sistem imunitas kita bekerja secara parallel atau antibodi menerima sinyal akan adanya mikroba yang masuk ke dalam badan kita. Yang jelas antibodi baru akan bekerja lebih cepat bila mikroba tersebut telah dikenalnya. Dan pembuluh darah di daerah tersebut mampu untuk dilewati antibodi. Pembuluh darah yang ke sel goblet diyakini ukurannya maksimal hanya 5 mikrometer saja (ukuran pembuluh darah terkecil yang terdapat pada sistem pembuluh darah kita). Kapiler sekecil itu, sangat sulit dilalui oleh IgM dengan berat 900 ribu Dalton dan IgG dengan berat 160 ribu Dalton (betapapun ukuran immunoglobulin tersebut telah sangat kecil). Infeksi pada sel goblet adalah infeksi yang ringan, sehingga tubuh tidak melakukan vasodilatasi kapiler yang adekuat supaya antibodi bisa masuk ke sel goblet. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka sistem imunitas humoral spesifik kita (antibodi) tidak bereaksi ketika adanya mikroba di saluran nafas bagian atas atau sel goblet itu. Cukup dengan imunitas seluler yang ada pada kita, SARS-CoV-2 yang berada pada saluran nafas bagian atas itu akan hancur. Baru bila SARS-CoV-2 itu, berhasil melewati hadangan dari cairan kental yang disekresikan oleh sel goblet dan fagosit oleh system imunitas kita di saluran nafas bagian atas atau virus berhasil masuk ke paru-paru, antibodi akan bereaksi. Atau terjadi rangsangan terhadap sistem imunitas humoral kita (antibody) untuk menghancurkan virus-virus tersebut. Aliran darah ke paru yang banyak dengan diameter yang mampu untuk dilewati oleh antibodi kita (IgG dan IgM) menyebabkan virus yang berada di paru-paru itu dihancurkan oleh antibodi kita.

Karena antibodi atau sistem humoral kita tida bereaksi terhadap infeksi SARS-CoV-2 di saluran nafas bagian atas, maka badai sitokin tidak mungkin terjadi. Badai sitokin hanya terjadi bila komplek imun (ikatan antara virus SARS-CoV-2 dan antibodi) banyak terdapat di dalam sirkulasi darah kita. Bila ada komplek imun seperti itu, maka hal tersebut akan mengaktivasi komplemen dan kemudian akan mengaktivasi sel-sel pembunuh kita terutama sel makrofag untuk membuat peluru-peluru atau sitokin untuk menghancurkan komplek imun tersebut.

Sitokin-sitokin atau peluru-peluru dengan bermacam model dan jumlah yang banyak, akan lebih terpacu keluar bila komplek-komplek imun itu juga masuk ke organ-organ tubuh kita (terjadi badai sitokin). Bila ada peneliti mengatakan bahwa SARS-CoV-2 juga menghasilkan banyak sitokin (Consider Cytokine Storm Syndromes and Immunocompression – The Lancet Volume 395, Issue 10229, P1033-1034), maka dapat dipastikan bahwa model peluru yang banyak itu tidak diikuti dengan jumlah peluru yang banyak pula. Terdapat macam-macam interleukin, tetapi jumlah sitokin yang dikeluarkan sedikit. Karena komplek imun yang berjumlah banyak tidak terdapat di sirkulasi.

Pada film horor itu, komplek imun yang banyak dan tersebar luas, serta komplemen tidak terlihat atau tidak tertulis pada jurnal-jurnal mereka. Untuk lebih jelasnya klik http://renungan-tmudwal.com/pengaruh-cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/.

Kesimpulan dari apa yang di tuliskan di atas adalah teori 1.000 wajah (The thousand faces disease) COVID 19 yang di ciptakan ilmuwan Cina dan di adopsi oleh WHO tidak dapat di terima.

Italia

Tabel Kematian Akibat COVID-19 di Italia (statista.com, 22 Mei 2020)

Dari tabel tersebut kita mendapatkan jumlah kematian 31.106. Dan bila kita melihat worldometer, maka kematian sebanyak 31.106 itu terjadi pada tanggal 13 Mei 2020. Dan pada tanggal 13 Mei 2020 itu, pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 112.541 orang. Jadi total pasien yang telah selesai dievaluasi sebanyak 143.647. Pasien sebanyak 143.647 itu terjadi tanggal 10 April 2020.

Dengan demikian angka kematian sebulan akibat COVID-19 (10/4/2020 s/d 13/5/2020) sebanyak 31.106/143.647 = 21,65% dari total penderita COVID-19 (143.647).

Apakah jumlah kematian  31.106 itu dapat diterima? (jumlah kematian awal / kasar)

Angka harapan hidup rakyat Italia 83,24 tahun. Rakyat Italia yang meninggal akibat COVID-19, yang berumur 80 tahun ke atas sebanyak (5.212 + 12.691 = 17.903). Atau 57,55% dari total kematian akibat COVID-19 (10/4/2020 s/d 13/5/2020). (31.106 orang)

Bila pasien COVID-19, yang berumur 80 tahun ke atas ini dianggap pantas untuk meninggal oleh karena telah sesuai dengan harapan hidup (dikeluarkan dari tabel), maka jumlah orang yang meninggal akibat COVID-19 sebenarnya hanya 31.106 – 17.903 = 13.203. (jumlah kematian sebenarnya). Atau 42.44% dari jumlah kematian awal/kasar.

 Bila kita menyakini bahwa umur 70 tahun, rakyat Italia, mulai mempunyai penyakit kronis, maka kematian umur 0 tahun s/d 69 tahun adalah kematian yang menjadi pertanyaan atau kematian evaluasi. Kematian evaluasi akibat COVID 19 itu sebanyak 4.667 orang. Atau 35,34% dari jumlah kematian sebenarnya (13.203 orang).

Angka kematian sebanyak 35,34% itu, pada orang-orang dengan imunitas yang di anggap baik, merupakan angka yang sangat tinggi. (betapapun masih lebih rendah dari angka kematian evaluasi di Amerika Serikat yang 48,07%). Sayangnya saya tidak mendapatkan data tentang pasien COVID 19, yang menderita pneumonia atau influenza.

Karena teori 1000 wajah dari COVID 19 telah menjadi acuan dari dokter seluruh dunia ini, maka saya meyakini kesalahan yang terjadi di Italia adalah sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Karena itu saya mengklaim bahwa 70-80 % kematian yang di katakan oleh karena COVID 19 itu, bukanlah di sebabkan oleh COVID 19.

Bila jumlah kematian sebenarnya (di luar umur 80 tahun ke atas), adalah sebanyak 13.203, maka jumlah kematian murni COVID-19 adalah 20-30% x 13.203 = 2640-3960 orang saja. Atau 8,48% – 12,73% dari jumlah kematian kasar (awal). Kematian 2.0640 – 3.960 orang itupun terjadi pada orang-orang italia dengan defisiensi imun seperti adanya penyakit-penyakit kronik, keganasan atau mixed infection dengan penyakit lain.

Kalau kita terapkan pada data terbaru Italia (Sabtu, 30 Mei 2020, jam 19.55 WIB).

  • Jumlah kematian kasar : 33.229 orang
  • Jumlah kematian 80 tahun ka atas, 57,55% x 33.209 = 19.109.
  • Jumlah kematian sebenarnya = 33.229 – 19.109 = 14.120
  • Jumlah kematian murni: 20 – 30% x jumlah kematian sebenarnya = 20-30% x 14.120=2.824 – 4.236

Indonesia

Bila kita mencari kategori umur untuk yang terkena COVID-19, maka itu didapatkan pada kompas.com tanggal 29 April 2020. Dimana dituliskan berdasarkan keterangan dari pemerintah maka kematian COVID-19, pada tanggal 28 April 2020 adalah 773 orang dengan rincian kelompok umur sebagai berikut:

Pada tanggal 28 April tersebut jumlah kematian adalah 773 orang dan 1.254 orang sembuh. Jadi sampai dengan 29 April 2020, data yang telah dievaluasi sebanyak 2.027 orang. Jumlah COVID-19, yang 2.027 orang itu terdapat pada tanggal 4 April 2020. Dimana pada tanggal tersebut, jumlah COVID-19 yang dilaporkan Indonesia sebanyak 2.092 orang. Dengan demikian angka kematian COVID-19 di Indonesia pada tanggal 29 April 2020 adalah 773/2.027 = 38,13%. Apakah jumlah kematian 773 orang itu dapat diterima?  (jumlah kematian awal/kasar)

Angka harapan hidup orang Indonesia berdasarkan WHO adalah 69 tahun. Seharusnya yang banyak meninggal akibat COVID-19 minimal adalah di atas atau sama dengan umur 65 tahun. Karena untuk Indonesia orang-orang dalam kriteria umur tersebut telah dianggap mencapai expectation of life. Orang-orang itu biasanya telah mengalami penurunan imunitas. Tapi anehnya di Indonesia kematian akibat COVID-19 justru banyak terjadi pada usia di bawah 65 tahun, seperti yang terlihat pada tabel di atas. Bila kita keluarkan yang umur 70 tahun ke atas, maka angka kematiannya menjadi 94,15% dari total orang-orang yang meninggal karena COVID-19.

Kita mencoba untuk menganalisa data tersebut.

Bila kita mengeluarkan orang-orang yang berumur 70 tahun ke atas dari tabel maka jumlah kematian didapatkan adalah 773 – 45 = 728 orang. (jumlah kematian sebenarnya). Jumlah 45 orang kematian orang-orang Indonesia yang telah mencapai expectation of life nya ini, ternyata hanya mencapai 5,89% dari jumlah kematian kasar. Sangat jauh berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat (59,64%) dan Italia (57,55%).

Bila umur 55 tahun di Indonesia dianggap telah mempunyai penyakit kronis, padahal umur tersebut, terdapat pada grup 50-69 tahun maka setengah dari grup tersebut di anggap mempunyai penyakit kronis. Dari tabel terlihat jumlah kematian pada grup itu 280 orang. Maka sebanyak 140 orang dianggap telah mempunyai penyakit kronis. Sehingga jumlah kematian COVID-19 yang terjadi pada orang-orang dengan imunitas baik atau di anggap tidak mempunyai komorbid 728 – 140 = 588 orang (0-54 tahun). Atau angka kematian evaluasi adalah 588/728=80,76% (setelah kita mengeluarkan dari tabel kematian orang-orang yang berumur 70 tahun keatas). Ini adalah suatu angka yang sangat absurd. Dimana COVID 19 dapat menyebabkan kematian pada orang-orang yang di anggap berimunitas baik atau dianggap tidak mempunyai komorbid sampai mencapai angka 80% lebih. Jauh melebihi angka kematian evaluasi yang sudah sangat tinggi di Amerika Serikat dan Italia. Angka kematian evaluasi di Amerika Serikat itu mencapai 48,07%, sedangkan di Italia 35,34%.

Kematian orang-orang muda (0-54 tahun) yang dianggap tanpa komorbid itu, jelas tidak dapat diterima. Hanya satu hal yang dapat menerangkan itu yaitu karena diterapkannya teori COVID-19 adalah penyakit seribu wajah atau penyakit Dasamukapangkat 3 secara patuh dan taat. Semua orang yang meninggal karena apapun, termasuk kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, dan semua jenis penyakit lainnya akan didiagnosa COVID-19 bila reverse transcriptase polymerase chain reaction-nya positif. Semua penyakit berat yang dirawat di Indonesia akan diperiksa RT-PCRnya. Bila RT-PCR positif maka sebab meninggalnya adalah COVID-19 tidak peduli apakah orang tersebut mati karena acute myocard infark atau stroke hemorrhagic atau severe Dengue. Bila semangat bertubi-tubi untuk menuliskan COVID-19 sebagai sebab kematian saya klaim 70-80% terjadi pada dokter-dokter di Italia dan AS, maka di Indonesia semangat tersebut berdasarkan pemantauan dan fakta dari angka evaluasi yang sangat tinggi maka saya berkeyakinan tidak kurang dari 90%. Atau hanya 10% saja yang meninggalnya disebabkan COVID 19. Kematian itupun baru terjadi pada orang-orang yang mempunyai penyakit kronis, keganasan, dan mixed infection dengan penyakit lainnya.

Dengan demikian jumlah kematian murni akibat COVID-19 yang sebenarnya adalah 10% x 728 orang = 73 orang saja. Atau 9,44% dari jumlah kematian kasar (773 orang).

Karena angka kematian evaluasi terlalu tinggi maka saya tidak berani menerapkannya ke data COVID 19 terbaru dari Indonesia.

Kesimpulan:

Kesimpulan dari artikel ini dan artikel-artikel lainnya yang saya buat tentang COVID-19 (http://renungan-tmudwal.com/tinjauan-terhadap-cara-penularan-covid-19-usaha-untuk-menghilangkan-kepanikan-dunia/, http://renungan-tmudwal.com/pengaruh-cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/, http://renungan-tmudwal.com/diagnosis-and-therapy-of-covid-19/).

1. Penulisan semua orang yang reverse transcriptase polymerase chain reaction-nya positif atau COVID-19nya positif sebagai penyebab kematian segala macam penyakit (The Thousand Faces Disease) adalah faktor utama banyaknya kematian yang dikatakan karena COVID-19,

2. Dimasukannya orang-orang tua yang telah mencapai excpectation of life yang kemudian meninggal dan RT-PCR COVID-19 nya positif, menambah meningkatnya angka kematian akibat COVID-19.

3. Adanya paksaan dari dokter-dokter untuk membuat diagnosa dan surat kematian COVID-19, menambah meningkatnya angka kematian akibat COVID-19.

4. Karena ISPA adalah gejala awal dari COVID-19 maka yang dibutuhkan untuk menghancurkan SARS-CoV-2 adalah imunitas seluler bukan imunitas humoral (antibodi). Sehingga pemberian vaksin untuk merangsang pembentukan antibodi menjadi tidak berguna.

5. Dengan dasar poin 4, kembalinya manusia ke aktivitas normal, tidak akan menimbulkan herd immunity, terlebih lagi kematian berjuta-juta orang.

6. Dengan dasar poin 4, maka seseorang dapat terkena serangan ISPA berkali-kali akibat terinfeksi SARS-CoV-2. Atau COVID-19 akan tetap ada sampai hari kiamat.

7. Dengan dasar poin 6, pemeriksaan RT-PCR berkali-kali dan sebanyak-banyaknya pada masyarakat adalah suatu kebodohan.

8. Dengan dasar poin 6, melakukan isolasi baik mandiri atau di rumah sakit pada pasien-pasien dengan RT-PCR positif, adalah suatu kezaliman. Dan menjadi sangat zalim bila yang diisolasi itu belum pernah dicek RT-PCRnya.

9. Dengan dasar poin 4, penularan COVID-19 adalah secara droplet infection. Sedangkan secara airborne, hanya mungkin terjadi bila droplet tersebut belum sampai 20 menit setelah dikeluarkan oleh orang-orang yang mengandung SARS-CoV-2 pada dirinya. Penyebaran secara aerosol, adalah cerita horor. Penyebaran secara aerosol hanya mungkin terjadi bila langit dipenuhi oleh virus SARS-CoV-2, seperti yang terjadi di Kota Wuhan.

10. Dengan dasar poin 4,5,7,8,9, penguburan jenazah orang-orang dengan RT-PCR positif, secara procedural COVID-19 adalah kezaliman. Dan menjadi sangat zalim bila orang yang meninggal itu belum pernah dicek RT-PCRnya.

11. Khusus untuk Indonesia setiap pasien panas 7 hari atau kurang, harus selalu dipikirkan kemungkinan adanya infeksi Dengue. Karena Indonesia adalah tempat terbanyak di bumi ini, yang sangat potensial terkena infeksi Dengue (Indonesia’s potential Dengue infection = 5.380.000 orang). Dan infeksi Dengue telah terbukti menyebabkan badai sitokin. Infeksi Dengue lah yang seharusnya mendapatkan gelar The Thousand Faces Disease (lihat kasus-kasus infeksi Dengue pada situs dhf-revolutionafankelijkheid.net). Angka kematian evaluasi yang sangat tinggi itu secara ilmiah disebabkan oleh karena infeksi Dengue. Makin baik imunitas, maka makin mudah dan hebat serangan virus Dengue (teori hipersensitivitas tipe III – T.MUDWAL, lihat situs: dhf-revolutionafankelijkheid.net)

12. Dengan banyaknya orang-orang defisiensi imun yang meninggal dunia dalam 5 bulan terakhir ini, maka pandemi COVID-19 sudah sewajarnya dikatakan selesai. Karena tidak ada patokan lain kecuali itu. Angka R0, yang rendah adalah tipuan sementara saja. Karena setelah mereka di bebaskan dari stay at home itu, nilai R0 akan tinggi kembali. Disebabkan virus SARS-COV-2 tetap ada sampai kiamat. Penularan yang sangat cepat dan banyaknya orang-orang tanpa gejala tetapi SARS-COV-2 positif juga akan meningkatkan nilai R0 setelah masyarakat bebas dari stay at home. Orang-orang dengan defisiensi imun atau telah mencapai expectation of life itulah yang kemarin telah membuat dunia heboh karena kekurangan ventilator. Berdasarkan data nomor 4, 5, 6 maka, tetap melanjutkan stay at home adalah suatu kezaliman dan kebodohan. Stay at home cukup dilakukan 1 bulan saja. Memperpanjang stay at home hanya akan mempercepat kematian orang-orang dengan defisiensi imun dan menimbulkan kerapuhan sistem imun pada orang-orang  dengan imunitas baik.

13. Dengan dasar poin 4,5,6 dan 12 maka kekhawatiran terjadinya gelombang kedua dari COVID-19 adalah ketakutan yang terlalu berlebihan. Kewaspadaan hanya perlu diberikan pada orang-orang yang telah mencapai usia sewajarnya untuk hidup di negara tersebut (mencapai expectation of life).

14. Dengan poin 1 s/d 14, sudah saatnya dunia kembali ke dalam keadaan normal. Tanpa harus melalui fase new normal. Kecuali manusia di dunia ini, bersedia tunduk pada iblis yang terlaknat itu beserta antek-anteknya.

Al-Hijr: 39

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (segala hal yang salah) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,